Sebelum Aksi 212, Monas Pernah Menjadi Saksi Rapat Raksasa Ikada

INDOPOSCO.ID – Ribuan massa memenuhi Lapangan Monas saat aksi 212 pada 2 Desember 2016 lalu imbas pernyataan Gubernur DKI Jakarta yang saat itu dijabat oleh Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) diangap melakukan penistaan agama. Ratusan ribu massa yang hadir mendesak agar Ahok bisa segera diadili.
Banyak yang menyebut peristiwa itu sebagai sejarah baru, karena baru kali itu Monas dipadati begitu banyak orang. Namun, sejarah mencatat, jauh sebelumnya, ada peristiwa yang jauh lebih dahsyat: Rapat Raksasa Ikada, 19 September 1945, hanya sebulan setelah Proklamasi Kemerdekaan.
Tokoh Pemoeda Kaoem Betawi 1927, Azis Khafia, menegaskan klaim massa terbesar di Monas saat aksi 212 tidak sepenuhnya tepat.
“Tahun 1945, lapangan yang kini kita kenal sebagai Monas, dulu bernama Lapangan Ikatan Atletik Djakarta (Ikada), pernah menjadi lautan manusia. Sekitar 300 ribu rakyat dari Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, Cianjur, dan sekitarnya tumpah ruah memenuhi lapangan itu,” ujar Azis, kepada INDOPOSCO, Jumat (19/9/2025).
Jika aksi 212 dapat mengandalkan media sosial, teknologi komunikasi, dan jaringan transportasi modern, maka Rapat Raksasa Ikada 1945 digelar di tengah keterbatasan. Saat itu, tidak ada WhatsApp, Facebook, atau pengeras suara canggih. Namun, ratusan ribu rakyat tetap datang dengan tertib meski berada di bawah ancaman senjata Jepang.
“Bayangkan, rakyat berdatangan dengan semangat luar biasa, hanya berbekal kabar dari mulut ke mulut dan jaringan pemuda. Semua hadir karena cinta tanah air,” jelas Azis.
Rapat raksasa itu digagas oleh Komite van Aksi yang beranggotakan para pemuda, antara lain Adam Malik, Sukarni, dan Wikana. Mereka ingin mendesak pemerintah Republik yang baru berdiri agar lebih tegas menghadapi Jepang, sekaligus memperlihatkan kepada dunia internasional bahwa kemerdekaan Indonesia lahir dari kehendak rakyat, bukan hadiah penjajah.
Di tengah lautan manusia, Presiden Soekarno tampil berpidato singkat namun penuh makna. Ia menekankan agar rakyat percaya pada pemerintah Republik Indonesia yang baru saja dibentuk.
Pesan penting dari rapat raksasa itu antara lain mempertemukan pemerintah dengan rakyatnya, meneguhkan kewibawaan Republik di mata rakyat, menanamkan kepercayaan diri bahwa bangsa Indonesia mampu mengubah nasib dengan kekuatannya sendiri, dan menegaskan dukungan rakyat terhadap pemerintah yang baru lahir.
Buktinya, setiap instruksi pimpinan dijalankan tanpa ragu oleh massa yang hadir.
Diketahui, Rapat Akbar di Lapangan Ikada (Ikatan Atletik Djakarta) pada 19 September 1945 tidak terjadi begitu saja. Ada informasi bahwa Jepang, meski sudah kalah perang, belum sepenuhnya rela melepas Indonesia. Mereka disebut akan menyerahkan status quo kepada Sekutu, bukan kepada Republik. Kondisi ini menimbulkan keresahan, sehingga rakyat dan pemuda bersepakat untuk menunjukkan tekad mempertahankan kemerdekaan.
“Rapat Ikada adalah bukti bahwa kemerdekaan ini bukan sekadar deklarasi elite. Ia lahir dari dukungan rakyat, dari keberanian untuk menatap dunia luar bahwa Indonesia benar-benar sudah merdeka,” tutur Azis.
Lebih dari sekadar catatan sejarah, Rapat Raksasa Ikada meninggalkan pesan penting bagi bangsa Indonesia hari ini. Persatuan, ketaatan pada instruksi pemimpin, serta keyakinan bahwa bangsa ini mampu berdiri di atas kaki sendiri adalah warisan yang patut terus dihidupkan.
“Sejarah itu harus kita hidupkan kembali. Di tengah rongrongan dari dalam maupun luar negeri, semangat Rapat Ikada 1945 harus jadi pengingat bahwa kekuatan rakyat bersatu bisa menjaga Republik ini,” tambahnya. (her)