Wacana “Satu Warga Satu Akun,” Komisi I DPR: Cegah Hoaks hingga Kriminalitas

INDOPOSCO.ID – Wakil Ketua Komisi I DPR RI, Sukamta menyoroti maraknya penyalahgunaan nomor telepon untuk aksi penipuan digital (scamming), serta menjamurnya akun anonim di media sosial yang digunakan untuk menyebarkan hoaks dan memanipulasi opini publik. Ia menilai kedua persoalan ini saling berkaitan dan perlu mendapatkan perhatian serius pemerintah.
Menurut Sukamta, pengurangan anonimitas di dunia digital sangat penting agar identitas pengguna dapat terlihat jelas di media sosial. Dengan demikian, potensi penyalahgunaan identitas anonim untuk melakukan tindakan yang melanggar hukum dapat diminimalisir.
“Prinsipnya kita ingin mengurangi anonimitas di dunia digital, agar nama dan identitas pengguna dapat terlihat dengan jelas di media sosial maupun platform lainnya. Hal ini penting agar tidak ada pihak yang menyalahgunakan anonim untuk melakukan tindakan yang melanggar hukum atau merugikan orang lain,” kata Sukamta dalam keterangan tertulisnya kepada INDOPOSCO, Rabu (17/9/2025).
Seperti diketahui, Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) tengah mengkaji wacana pembatasan satu orang satu akun media sosial. Kajian ini juga mencakup aturan agar setiap akun media sosial terkait dengan satu nomor ponsel, termasuk pembatasan jumlah nomor yang dapat digunakan oleh satu orang.
Menanggapi hal tersebut, politisi Partai Keadilan Sejahtera (PKS) inijuga menyinggung rencana pembatasan nomor telepon melalui verifikasi faktual dengan menggunakan identitas asli saat pendaftaran, khususnya bagi perangkat modern yang jumlahnya sudah cukup besar.
Sukamta menilai kebijakan ini dapat dilaksanakan, asalkan tetap mempertimbangkan keberagaman kondisi masyarakat di lapangan.
“Dulu, ada pikiran dari pemerintah untuk membuat setiap pendaftaran itu dengan identitas asli dengan verifikasi faktual. Saya kira untuk handphone yang modern, yang baru dan itu jumlahnya cukup besar. Itu bisa dilakukan,” tuturnya.
Namun, Sukamta juga mengingatkan agar kebijakan tersebut tidak memberatkan masyarakat yang masih mengalami kesulitan. Misalnya dalam membeli perangkat baru yang diperlukan untuk proses verifikasi itu.
“Tapi bagi sebagian masyarakat yang mungkin masih kesulitan untuk beli handphone baru, itu yang harus ada solusinya, jangan dipaksakan,” sebut Sukamta.
Sementara terkait wacana pembatasan media sosial dengan sistem ‘satu warga, satu akun’, Sukamta melihat hal ini sebagai salah satu cara menekan anonimitas yang sering menjadi celah bagi praktik ujaran kebencian dan tindakan kriminal di dunia maya.
“Prinsipnya itu kita ingin ada ketidakadaan anonim. Jadi supaya ada nama dan identitas yang terang di dunia digital, medsos atau yang lain-lain,” ucapnya.
“Supaya tidak ada orang yang punya motif kriminal atau sesuatu yang dilarang di undang-undang yang bersembunyi di balik anonimisme. Itu kan intinya,” lanjut Sukamta.
Pimpinan Komisi DPR yang membidangi urusan Komunikasi dan Informatika ini pun berpandangan, sistem satu orang satu akun dapat menekan angka anonimitas yang negatif. Meski begitu, kata Sukamta, wacana kebijakan itu perlu dibahas lebih lanjut.
“Apakah itu dengan cara satu akun satu orang, atau dengan cara yang lain yang penting adalah supaya orang diharuskan untuk pakai identitas asli. Nah kalau itu yang ditempuh, itu salah satu cara yang sangat bagus,” jelas Legislator asal Daerah Istimewa Yogyakarta itu.
Di sisi lain, Sukamta menilai permasalahan utama di dunia digital tidak hanya berkaitan dengan banyaknya akun atau identitas anonim, tetapi juga terkait dengan penegakan hukum serta peningkatan literasi digital yang perlu diperkuat.
“Saat ini yang diperlukan bukan hanya pembentukan aturan baru, tetapi juga penegakan hukum yang konsisten dan peningkatan literasi digital masyarakat. Masyarakat diharapkan memiliki kemampuan untuk memverifikasi informasi secara tepat dan tidak mudah terpengaruh oleh hoaks,” urai Sukamta.
Sukamta pun mendorong Pemerintah melalui kementerian terkait agar menghadirkan solusi yang menyeluruh dan inklusif.
“Ruang digital Indonesia harus menjadi tempat yang sehat, aman, dan adil bukan sekadar bebas dari anonim, tapi juga bebas dari ketakutan, manipulasi, dan diskriminasi kebijakan,” tutupnya. (dil)