Kritik Data Kemiskinan BPS, Celios: Hanya untuk Kepentingan Pencitraan

INDOPOSCO.ID – Lembaga penelitian yang fokus pada isu ekonomi dan hukum, Center of Economic and Law Studies (Celios) mengkritik, data kemiskinan versi Badan Pusat Statistik (BPS). Sebab, angka yang dimunculkan tidak sesuai dengan realitas di lapangan.
BPS menyampaikan, jumlah penduduk miskin ekstrem pada Maret 2025 sebanyak 2,38 juta orang atau turun sebanyak 0,40 juta orang dibandingkan September 2024. Jumlah penduduk masuk kategori miskin ekstrem telah turun 1,18 juta orang bila membandingkan dengan Maret tahun lalu.
Penurunannya hanya 0,1 persen, maka menunjukkan bahwa kemampuan pemerintah menurunkan angka kemiskinan semakin berkurang. Banyak masyarakat keluar dari garis kemiskinan, sebaliknya dalam waktu bersamaan, jumlah orang jatuh miskin kembali atau menjadi miskin baru cukup tinggi.
“Saat ini pemerintah hanya memilih data-data yang positif, dengan landasan metodologi yang lemah dan pada saat yang sama mengabaikan indikator penting lainnya,” kata Direktur Kebijakan Publik Celios Media Wahyudi Askar saat dikonfirmasi melalui gawai, Jakarta, Sabtu (26/7/2025).
BPS sudah hampir 5 dekade menggunakan pendekatan pengukuran kemiskinan dengan berbasiskan pengeluaran serta variabel, yang tidak banyak berubah dan tidak lagi sesuai dengan realitas ekonomi.
Berdasarkan laporan terbaru World Bank, sekitar 68,2 persen penduduk Indonesia hidup di bawah garis kemiskinan internasional, atau setara dengan 194,4 juta jiwa. Angka itu sangat berbeda dengan data BPS, yang mencatat hanya 8,57 persen atau 24,06 juta orang dikategorikan miskin.
Meski metodologi kedua pihak berbeda, disparitas sebesar delapan kali lipat itu menunjukkan, bahwa terdapat masalah dalam cara mendefinisikan kemiskinan.
“Kita lebih baik menggunakan data dengan benar untuk melihat fakta yang ada, ketimbang memoles data hanya untuk kepentingan pencitraan,” kritik Media.
“Yang ujung-ujungnya malah membingungkan perencanaan kebijakan kedepannya. Kemiskinan bukan aib, tapi masalah sosial yang harus diselesaikan,” tambahnya.
Pengukuran data kemiskinan BPS dianggap tidak relevan, terlebih diperburuk sistem pendataan yang mensyaratkan penerima bansos harus terdaftar dalam Data Terpadu Kesejahteraan Sosial (DTKS).
“Jika garis kemiskinan terlalu rendah, maka otomatis banyak masyarakat rentan yang tidak terjaring ke dalam kategori masyarakat miskin sesuai data DTKS dan akhirnya tidak menerima bantuan sosial apa pun,” imbuh Media. (dan)