Tak Hanya Etika Tahapan Pemilu, DKPP Juga Terima Aduan dari Kasus Asusila hingga Pinjol

INDOPOSCO.ID – Ketua Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) Heddy Lugito menegaskan bahwa selama ptoses penegakkan etika, pihaknya tidak hanya menerima kasus terkait penyelenggaraan pemilu, namun juga aduan terkait asusila hingga pinjaman online (pinjol) yang dilakukan oleh oenyelenggara pemilu di seluruh Indonesia.
“Dalam pelanggaran etika ada yang dalm tahapan dan non tahapan pemilu, yakni laling banyak terkait dengan asusila dan berada di peringkat pertama. Perkara asusila yang ditangani DKPP, tidak hanya menyangkut kekerasan seksual, tetapi juga perjudian, penyalahgunaan narkotika, dan lainnya,” kata Heddy dalam sambutan di acara HUT ke-13 DKPP di Jakarta, Kamis (12/6/2025).
“Jadi meskipun pilkada serentak sudah selesai, PSU (pemungutan suara ulang) telah rampung, pengaduan ke DKPP pasti akan selalu ada. Bahkan soal utang piutang (penyelenggara pemilu), pinjol (pinjaman online) dilaporkan ke DKPP, unik memang lembaga ini,” sambungnya.
Heddy.
Untuk pelanggaran tahapan pemilu, baik Pemilu maupun Pilkada, kata Heddy, tentunya terkait dengan etika penyelenggara pemilu dalam bentuk kexurangan.
Salah satu dampak dari pelaksanaan pemilu dan pilkada serentak di tahun 2024 lalu, adalah meningkatnya jumlah pelanggaran, tidak terkecuali pelanggaran etik. Pengaruh eksternal menjadi faktor penyumbang tingginya pelanggaran etik oleh penyelenggara pemilu.
“Pengaruh tersebut dari luar terutama peserta pemilu. Berdasarkan catatan kami pelanggaran yang terjadi terutama selama tahapan karena pengaruh peserta dibarengi dengan integritas yang lemah,” tegasnya.
Untuk itu, memasuki usia yang ke-13 tahun pada hari ini, kata Heddy, DKPP berkomitmen terus berbenah dan memperbaiki diri dalam banyak hal.
“Fokus utama DKPP dalam beberapa tahun ini adalah pelaksanaan pemilu dan pilkada serentak. pesta demokrasi tersebut merupakan yang terbesar dalam sejarah Indonesia. Ke depannya DKPP akan terus memperbaiki banyak hal terkait etika penyelenggara pemilu,” ucapnya.
Meski melakukan penegakkan hukum, ujar Heddy, putusan DKPP juga telah merehabilitasi nama baik penyelenggara pemilu yang mencapai 52 persen. “Angka tersebut menjadi bukti keberadaan DKPP bukan hanya untuk menghukum, tetapi menjaga marwah penyelenggara pemilu,* beber Heddy
Sebagai informasi, jumlah pengaduan yang diterima sebanyak 5.832 sepanjang lembaga ini berdiri sejak 12 Juni 2012 (data sampai dengan 8 Juni 2025).
Dari pengaduan tersebut, 2.475 telah diputus dengan jumlah teradu 10.108 penyelenggara pemilu. Sebanyak 5.322 di antaranya direhabilitasi karena tidak terbukti melanggar kode etik penyelenggara pemilu.
Sedangkan penyelenggara pemilu yang mendapatkan sanksi peringatan (teguran tertulis) sebanyak 3.378. Pemberhentian sementara (86), pemberhentian dari jabatan ketua/koordinator divisi (97), serta pemberhentian tetap (791).
“Hanya 48 persen (penyelenggara pemilu yang mendapatkan sanksi DKPP), dan hampir semuanya menerima (putusan DKPP), hanya yang beberapa saja yang menyoal tindaklanjut putusan DKPP yang ditindaklanjuti KPU maupun Bawaslu,” sambungnya.
Heddy juga menyesalkan beberapa pihak yang masih menyoalkan putusan DKPP, salah satunya dengan menggugat ke Pengadilan Tata Usaha Negeri (PTUN).
“Bagi kami ini adalah otokritik, apakah karena putusan DKPP atau pribadi penyelenggara itu bermasalah. Ini merupakan sebuah evaluasi bagi kami,” pungkasnya.
Dalam kesempatan ini, Wakil Menteri Dalam Negeri, Ribka Haluk, mengapresiasi kinerja DKPP dalam menyukseskan pemilu dan pilkada serentak tahun 2024. Di matanya, DKPP adalah benteng utama dalam menjaga kode etik penyelenggara pemilu.
“DKPP menjaga kepercayaan publik melalui penyelesaian perkara dan pemberian sanksi yang tegas terhadap pelanggaran kode etik penyelenggara pemilu,” tegas Ribka. (dil)