Ema Suranta: Dari Panggung Penghargaan ke Akar Perubahan

INDOPOSCO.ID – Hari Kamis (8/52025), seperti menjadi momen yang tak bakal terlupakan bagi seorang Ema Suranta. Hari itu dia berdiri di panggung megah dalam acara Mata Lokal Fest 2025 di Hotel Shangri-La, Jakarta.
Perempuan Desa Kertamulya, Padalarang, ini menerima penghargaan Local Ace in Organic Waste Transformation. Nama dan kiprahnya pun bersanding dengan tokoh dan brand besar nasional.
Tapi, siapa sangka, kalau perjalanan Ema Suranta itu bermula dari tumpukan sampah dan semangat komunitas emak-emak? Dan penghargaan itu bukan datang karena keberuntungan semata. Di baliknya, ada perjuangan panjang, tragedi yang membekas, dan terobosan dari masyarakat bawah.
Hari ini, bank sampah Bukit Berlian yang dia dirikan pada 14 Februari 2019 telah memiliki 120 keluarga sebagai anggota. Komunitas itu terdiri dari emak-emak yang tinggal di wilayah Rukun Warga (RW) tempat Ema tinggal. Dari sinilah, awal mula sampah di lingkungan mereka dipilah-pilah.
Menurut Ema, sekarang bank sampah Bukit Berlian bisa mengolah 15 ton sampah organik setiap bulan. Dari situ, mereka menghasilkan 2 ton maggot atau Black Soldier Fly (BSF) yang setiap 24 hari bisa mereka panen. Larva itu kemudian digunakan untuk pakan ikan, unggas, bahkan dijadikan tepung dan pelet untuk ikan hias.
Semula, sebagian besar maggot hasil produksi bank sampah Bukit Berlian diserap oleh para peternak ayam petelur. Sekarang off taker itu tidak ada lagi. Namun, Ema dan komunitasnya kini sudah memiliki pembudidayaan ikan lele.
“Jadi sekarang kami serap sendiri produk maggot untuk ternak lele kami,” ujarnya kepada wartawan.
Menurut Ema , Kepala Desa memiliki peran penting dalam mengembangkan bank sampah dan kegiatan lanjutannya dengan membangun sinergi antara warga, pengelola bank sampah, dan aparat pemerintahan desa.
Sebagai contoh, awalnya komunitas bentukan Ema mendapat sumbangan 5.000 ekor ikan lele oleh Pak Kades. Ketika panen, komunitas itu mengundang Pak Kades dan warga sekitar. Bahkan, pulangnya warga mendapat oleh-oleh ikan lele hasil panen.
Mereka bahkan diberi 5.000 benih ikan lele oleh kepala desa. Saat panen, hasilnya dibagikan ke warga. Inisiatif ini bukan cuma soal bisnis atau pengelolaan sampah, tapi tentang membangun komunitas dan ketahanan pangan lokal.
Lantas bagaimana sih awal mula Ema tergerak membangun bank sampah Bukit Berlian? Ketertarikan Ema mengurus ‘barang kotor’ itu justru bermula dari dari tragedi memilukan pada tahun 2005. Saat itu, Tempat Pengolahan Akhir (TPA) Leuwigajah meledak akibat penumpukan gas metana dan curah hujan tinggi.
Sampah setinggi 60 meter longsor, menimbun ratusan rumah, dan merenggut 157 nyawa. Lokasi kejadian hanya sekitar 20 km dari rumah Ema.
Peristiwa TPA Leuwigajah tercatat sebagai tragedi lingkungan memilukan nomor dua di dunia setelah musbah longsor sampah di TPA Payatas, Quezon City, Filipina pada 10 Juli 2000 dengan korban meninggal lebih dari 200 orang. Pemerintah pun menetapkan tanggal 21 Februari sebagai Hari Peduli Sampah Nasional (HPSN).
Lalu, pemerintah membangun TPA Sarimukti di Cipatat, Kabupaten Bandung Barat, untuk menggantikan peran eks TPA Leuwigajah yang ditutup. Tempat pengolahan limbah seluas 21,5 hektare itu mulai beroperasi pada 2006.
Namun, musibah datang lagi. Pada Agustus 2023, TPA Sarimukti mengalami kebakaran sehingga harus ditutup sementara. Penduduk kesulitan membuang limbah rumah tangga. Sampah menggunung di mana-mana. Bandung Lautan Sampah begitu orang-orang bilang saat itu.
Sekarang ini, di tahun 2025, wajah TPA Sarimukti tidak jauh berbeda dengan kondisi TPA Leuwigajah ketika masih beroperasi. Sampah menggunung karena daya tampung tidak sebanding dengan limbah yang harus diterima. Overload kalau menggunakan istilah gampang.
Peristiwa itu begitu membekas, mengubah cara pandang Ema terhadap sampah. Sejak itu, dia bertekad melakukan sesuatu agar kejadian seperti itu tak terulang lagi. Butuh waktu, dukungan warga, dan keberanian, tapi langkah kecil Ema di 2019 membentuk bank sampah akhirnya menjadi gerakan besar yang berdampak nyata.
Sebelum ada maggot dan budidaya lele, kegiatan Bank Sampah Bukit Berlian dimulai dari hal sederhana yakni mengumpulkan sampah anorganik berupa plastik dan botol. Untuk memotivasi warga bergabung, Ema menukar limbah itu dengan produk rumah tangga. Ternyata cara itu efektif. Dalam waktu singkat, 83 perempuan ikut bergabung.
Seiring berjalannya waktu, Ema sadar, sampah organik jauh lebih mendominasi. Kalau ingin perubahan signifikan, jenis limbah ini juga harus diolah. Maka dimulailah eksperimen dan kolaborasi dengan komunitas pengolah maggot, hingga akhirnya Bukit Berlian mampu mengelola sendiri.
Perjuangan Ema dan komunitas emak-emak di Desa Kertamulya mendapatkan ‘darah baru’ saat Ema berkenalan dengan program Membina Ekonomi Keluarga Sejahtera (Mekaar) dari PT Permodalan Nasional Madani (PNM), badan usaha milik negara (BUMN) pembiayaan ultramikro.
Melalui program PNM Mekaar itu, Ema menerima pinjaman awal Rp3 juta yang dia gunakan untuk membeli peralatan dan 10 biopond budidaya maggot. Lalu bantuan demi bantuan berdatangan. PNM membuatkan kandang maggot pertama senilai Rp35 juta pada 2023 dan kandang kedua pada 2024 dengan biaya Rp100 juta.
Tak hanya modal, PNM juga membuka akses pengetahuan. Ema sempat belajar langsung ke perusahaan pengolah maggot profesional, Biomagg, yang sudah mengekspor produknya ke luar negeri. Kini Ema punya mimpi serupa: ekspor maggot hasil karya lokalnya.
Direktur Utama PNM, Arief Mulyadi, mengapresiasi perjuangan dan prestasi Ema bersama emak-emak di bank sampah Bukit Berlian. Sosok Ema, menurut dia, menjadi bukti bahwa perempuan prasejahtera bisa mandiri dan memberi dampak positif bagi lingkungan.
“Kami juga bangga karena PNM Mekaar tidak hanya memberikan pembiayaan tetapi juga membina nasabah untuk menjadi pelaku perubahan di masyarakat,” kata Arief Mulyadi dalam siaran pers.
Peran Ema bersama perempuan yang tergabung di bank sampah Bukit Berlian dalam mengolah sampah ini selaras dengan apa yang menjadi keinginan dari Gubernur Jawa Barat, ‘Kang’ Dedi Mulyadi, yang sering disingkat menjadi KDM.
Lewat video pendek di akun Instagram-nya, @dedimulyadi71, KDM menyebut sudah terjadi darurat sampah di beberapa wilayah Jawa Barat. “Khususnya di Kota Bandung, Kabupaten Bandung, Cimahi, Kabupaten Bandung Barat. Dan kita berproblem di (TPA) Sarimukti,” kata Gubernur Jabar itu.
Salah satu upaya mengatasi problem di TPA Sarimukti, menurut KDM, adalah mengurai persoalan di hulu bukan hanya di hilir. Demi mewujudkan keinginan itu, KDM menggandeng Achmad Husein, mantan Bupati Banyumas dua periode yang berpengalaman mengelola sampah ketika masih menjabat “(Kalau) berhasil di Sarimukti, kita terapkan di seluruh provinsi Jabar,” kata KDM
Seperti juga Gubernur Dedi Mulyadi, Ema mengatakan bahwa menyelesaikan masalah sampah tidak bisa hanya mengatasi persoalan di hilir misalnya area TPA diperluas, menambah mesin, dan seterusnya. Persoalan di hulu juga mesti dibenahi. Kalau pasokan terus bertambah, pastilah persoalan sampah tak bakal selesai.
“Makanya, kami ingin Pak KDM bisa berkunjung ke Bukit Berlian di Kertamulya untuk melihat apa yang kami sudah lakukan,” kata Ema Suranta mewakili para emak-emak anggota bank sampah Bukit Berlian.
Kisah Ema Suranta bukan cuma cerita tentang mengolah sampah jadi maggot atau budidaya lele. Ini tentang bagaimana seorang ibu rumah tangga, bersama komunitasnya, membuktikan bahwa perubahan besar bisa dimulai dari langkah kecil. Bukan cuma lingkungan yang lebih bersih, tapi juga hidup yang lebih berdaya. (ibs)