Nasional

Minim Sosialisasi, Mayoritas Publik Tetap Dukung Revisi KUHAP Tapi dengan Syarat Ini

INDOPOSCO.ID – Lembaga Survei Indonesia (LSI) menyatakan berdasarkan survei yang dilakukan lembaganya tergambar bahwa masyarakat yakin bahwa Revisi KUHAP dinilai mendesak untuk segera dibahas mengingat Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) telah terbit melalui UU No. 1 tahun 2023.

Namun, meski rapat paripurna DPR RI pada tanggal 18 Februari 2025 menyetujui RUU KUHAP sebagai RUU Inisiatif DPR dan akan segera dibahas oleh Komisi 3, ironisnya mayoritas publik tak mengetahui informasi tersebut.

“Hanya 29,7 persen yang saat ini mengetahui pemerintah dan DPR sedang membahas perubahan Kitab Undang-udang Hukum Acara Pidana (KUHAP). Sementara 70,3 persen menyatakan tidak tahu bahwa saat ini pemerintah dan DPR sedang membahas perubahan KUHAP,” ujar Peneliti LSI, Yoes C Kenawas mengungkap, hasil survei nasional berlatarbelakang isu RUU KUHAP pada periode 22-26 Maret 2025, Minggu (13/4/2025).

“Awareness mengenai pembahasan perubahan KUHAP masih sangat rendah. Hanya 29.7% yang mengetahui dibandingkan 70.3% yang tidak tahu bahwa saat ini pemerintah dan DPR sedang membahas perubahan KUHAP. Perlu adanya sosialisasi untuk meningkatkan awareness masyarakat bahwa akan ada revisi KUHAP. Opini atau pendapat masyarakat umum dapat menjadi masukan dan pertimbangan bagi seluruh pihak terkait revisi KUHAP. Mungkin bisa dibilang saat ini RUU KUHAP hanya isu di elit, belum di masyarakat sepenuhnya,” ujarnya.

“Ada berbagai perdebatan mengenai RUU KUHAP yang sedang dibahas, antara lain terkait keadilan restoratif (restorative justice), kewenangan untuk melakukan penyidikan, perlindungan HAM bagi warga negara yang terlibat kasus pidana. Prinsip dan tata cara yang demokratis sangat diperlukan guna menghasilkan revisi KUHAP yang dapat memenuhi rasa keadilan, menghormati dan melindungi HAM, dan dapat diterapkan dalam kerangka negara demokrasi,” jelasnya.

“Oleh karena itu, Lembaga Survei Indonesia (LSI) melakukan survei telepon nasional untuk menangkap aspirasi dan pandangan masyarakat mengenai beberapa aspek penting dalam diskusi revisi KUHAP,” sambungnya.

Dalam survei terungkap mayoritas publik mendukung penyidik setara serta peningkatan tansparansi dan akuntabilitas penanganan kasus pidana untuk dimasukkan dalam Rancangan Undang-undang (RUU) tentang Perubahan atas UU No.8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP).

Dia menyatakan salah satu poin dari survei tersebut mengenai urgensi keberadaan saluran lain untuk pelaporan kejahatan yang belum mendapat kejelasan penanganan oleh penegak hukum.

Mayoritas dengan angka 86% responden menilai pentingnya keberadaan saluran lain untuk menindaklanjuti laporan atau pengaduan yang tidak mendapatkan kejelasan dalam waktu 14 hari sejak laporan diterima. Dari 86 persen tersebut, 38,8 persen diantaranya bahkan menyatakan keberadaan saluran pelaporan tersebut dengan kategori sangat penting.

Hanya 7,2 persen yang menganggap saluran pelaporan tersebut tidak diperlukan, dengan rincian menyatakan sangat tidak penting sebanyak 1,8 persen dan tidak penting 5,4 persen.

“Permasalahannya kan kalau gak viral gak ada keadilan. Harus ada mekanisme masyarakat melaporkan kalau laporan mereka tidak ditindaklanjuti dalam 14 hari,” papar Yoes.

Menyangkut isu kedudukan penyidik di RUU KUHAP yang juga dipandang jadi perdebatan, LSI menyebut sebanyak 61,6 persen mendukung kesetaraan penyidik.

“Mayoritas sebanyak 61.6% menyatakan kedudukan semua penyidik (misal penyidik kejaksaan, BNN, dan PPNS) seharusnya setara dan sebanding secara kualifikasi dan kompetensi,” papar Yoes.

“Ini akan menjadi perdebatan apakah Polri jadi penyidik utama, atau lembaga lain yang punya kewenangan yang sama. Menurut masyarakat harusnya gak cuma terpusat di 1 lembaga,” timpalnya.

Yoes menambahkan, mayoritas responden menunjukkan tingkat persetujuan yang cukup tinggi atas isu-isu terkait proses penegakkan hukum, termasuk terkait restorative justice, pendampingan oleh advokat/penasihat hukum, izin dan saksi dalam penggeledahan, ketersediaan dan aksesibilitas informasi perkara kriminal, pengujian sebelum upaya paksa, dan saluran untuk menyampaikan keberatan.

Rinciannya, setiap penggeledahan atau razia harus ada surat izin dan disaksikan oleh minimal dua orang saksi selain aparat penegak hukum dengan angka 89 persen. Sementara 82 persen responden mendukung kasus kriminal ringan (misal: pencurian yang disebabkan desakan ekonomi) diperlukan mekanisme penyelesaian di luar sidang dengan aturan yang jelas dan memenuhi rasa keadilan kedua belah pihak.

Sementara 80 persen responden mendukung pernyataan bahwa setiap orang yang diperiksa oleh aparat penegak hukum harus didampingi oleh advokat atau penasihat hukum. Mayoritas dengan angka 79 persen responden juga mendukung pernyataan informasi perkembangan setiap perkara kriminal dari awal hingga akhir harus tersedia dalam bentuk digital yang dapat diakses oleh masyarakat luas.

Sementara pengamat kepolisian Bambang Rukminto mewanti-wanti pentingnya masyarakat menyadari pentingnya pembahasan RUU KUHAP. Kontrol atas pembahasan RUU KUHAP ditekankannya agar kewenangan sangat besar tidak terjadi di salah satu lembaga penegak hukum yang akan berimbas memunculkan potensi-potensi koruptif dan abuse of power.

“KUHAP ini sangat penting karena menyangkut hak warga negara terkait hukum. KUHP secara formil berlaku 1 Januari 2026, kalau tidak ada hukum acara pelaksanaan dari KUHP, maka KUHP ini akan menjadi ancaman. Makanya masyarakat perlu dilindungi dengan KUHAP. Makanya penting sekali masyarakat mengetahui. Hasil rilis hanya hampir 30 persen yang tahu, ini kan miris.,” kata Bambang Rukminto. (wib)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Back to top button