
INDOPOSCO.ID – Zakat bukanlah konsep baru yang hanya diperkenalkan oleh Rasulullah SAW. Nabi-nabi Allah sebelumnya, seperti; Nabi Ibrahim AS dan Nabi Musa AS, juga mengajarkan prinsip-prinsip keadilan dalam pengelolaan harta.
Misalnya, dalam kisah Nabi Musa AS, Qorun adalah contoh individu yang menolak menunaikan zakat dan menggunakan kekayaannya dengan cara yang zalim. Akibatnya, Allah SWT menenggelamkan Qorun bersama hartanya sebagai hukuman atas ketidaktaatannya.
Kisah ini memberikan pelajaran bahwa harta yang tidak dizakati tidak akan membawa keberkahan, dan kelalaian dalam menunaikan kewajiban ini dapat mendatangkan kerugian yang besar.
Di zaman Nabi Muhammad SAW, zakat sejarah pengelolaan zakat memiliki peran penting dalam menciptakan kesejahteraan sosial dan ekonomi umat. sistem zakat pada zaman Nabi Muhammad SAW dilaksanakan dengan disiplin dan penuh integritas, yang melibatkan pengumpulan dari mereka yang mampu (muzakki) dan distribusi yang tepat kepada kelompok yang membutuhkan (mustahik).
Zakat bukan hanya diwajibkan sebagai kewajiban spiritual, tetapi juga sebagai pilar keadilan sosial yang mengikat masyarakat Muslim. Pada masa Nabi Muhammad SAW, peran profesi amil, relevansi momentum Maulud Nabi Muhammad 15 September 2024. Tiap daerah dan wilayah merayakannya dengan berbaga acara seni, santunan zakat anak yatim, fakir miskin dan lansia.
Pada masa Nabi Muhammad, zakat mulai terstruktur dengan jelas. Setiap Muslim yang memiliki kekayaan di atas nishab (batas minimum) diwajibkan mengeluarkan zakat. Ini menandakan pengakuan bahwa kekayaan harus dibagikan untuk kepentingan masyarakat.
Praktik zakat juga diintegrasikan dengan hukum sosial dan ekonomi, menciptakan ikatan antaranggota masyarakat yang lebih kuat. Amil zakat adalah individu atau kelompok yang ditunjuk secara khusus untuk mengumpulkan, mengelola, dan mendistribusikan zakat kepada mustahik.
Distribusi zakat pada masa itu tidak hanya bersifat karitatif tetapi juga bersifat produktif, membantu meningkatkan taraf hidup masyarakat dan mendorong pertumbuhan ekonomi di Madinah. Zakat juga dipandang sebagai salah satu faktor utama yang memperkuat kohesi sosial dan stabilitas politik dalam masyarakat Islam awal.
Ketaatan sebagai Landasan
Kata Zakat disebutkan sebanyak 30 kali dalam al-quran. 26 kali zakat disandingkan perintah solat. Zakat, sebagai salah satu rukun Islam, memiliki peranan penting dalam membangun masyarakat yang adil dan sejahtera. Secara harfiah, zakat berarti “pembersihan” dan “pertumbuhan,” yang mencerminkan fungsi sosial dan spiritualnya dalam membersihkan harta dan meningkatkan kebaikan. Dalam konteks masyarakat Muslim, zakat bukan hanya kewajiban individu, tetapi juga merupakan tanggung jawab kolektif untuk membantu mereka yang membutuhkan.
Zakat dilaksanakan sesuai dengan perintah Allah SWT :
“Bukanlah wajahmu itu menghadap ke timur dan ke barat, tetapi yang baik adalah barangsiapa yang beriman kepada Allah, hari kemudian, malaikat, kitab, dan nabi-nabi, dan memberikan harta yang dicintainya kepada kerabat, anak yatim, orang miskin, musafir, peminta-minta, dan untuk memerdekakan hamba sahaya, dan mendirikan shalat serta menunaikan zakat…” (QS.Al-Baqarah, 2:177).
“Sesungguhnya zakat itu hanya untuk orang-orang fakir, miskin, amil, muallaf, hamba sahaya, orang yang berutang, fisabilillah, dan musafir. Itulah ketentuan yang tetap dari Allah…” (QS. At-Taubah, 9:60)
“Dan orang-orang yang menunaikan zakat.” (QS. Al-Mu’minun:23:4)
” Nabi Muhammad SAW bersabda, ‘Barangsiapa yang memiliki harta dan tidak membayarkan zakatnya, maka pada hari kiamat hartanya akan dijadikan ular berbisa yang mengelilingi lehernya.’ (HR Ahmad)
“Nabi Muhammad SAW bersabda, ‘Zakat adalah hak yang harus dipenuhi dari harta seorang Muslim.'(Hr.Abu Hurairah)
Dalam perkembangannya pengelolaan zakat terbagi tiga bentuk pengelolaan zakat di banyak negara dan komunitas muslim dunia dengan dasar fikih masing-masing, yaitu:
Pertama, pengelolaan dilakukan secara penuh oleh negara, masyarakat tidak diperkenankan mengelola zakat. Negara-negara dalam kategori ini umumnya adalah negara yang mengadopsi Islam sebagai dasar negara atau sebagai negara Islam, di antaranya Arab Saudi, Bahrain, Brunei, Kuwait, Nigeria, Pakistan, Qatar, Sudan, Uni Emirat Arab, dan Yordania.
Kedua, praktik zakat diatur oleh negara, dan negara memberikan ruang bagi masyarakat untuk ikut berpartisipasi dalam pengelolaan zakat. Negara dalam kategori ini meliputi Bangladesh, Indonesia, Kazakhstan, Lebanon, Malaysia, Mesir, Maroko, Oman, dan Singapura.
Ketiga, negara sama sekali tidak terlibat dalam pengelolaan dan pengaturan praktik zakat. Pengelolaan zakat sepenuhnya dilakukan atas inisiatif dari masyarakat, sedangkan pemerintah tidak mengatur maupun melarang praktik zakat di negara tersebut. Negara dalam kategori ini meliputi Afrika Selatan, Bosnia, dan Turki.
Setiap Muslim yang memiliki kekayaan di atas batas tertentu diwajibkan mengeluarkan zakat, biasanya 2,5% dari harta yang dimiliki. Zakat ini dibagikan kepada delapan asnaf (kelompok penerima), seperti fakir, miskin, amil, muallaf, hamba sahaya, orang yang berutang, pejuang di jalan Allah, dan musafir.
Imam Malik dan Imam Syafi’i, menekankan bahwa zakat adalah salah satu rukun Islam yang harus dipenuhi. Dalam pandangan mereka, praktik zakat di zaman Rasulullah menunjukkan ketaatan yang tinggi terhadap perintah Allah. Mereka berargumen bahwa zakat bukan hanya tentang kewajiban, tetapi juga tentang pembentukan karakter dan disiplin spiritual individu. Khalifah Abu Bakar Siddik menyamakan orang yang tidak mau membayar zakat sebagai orang yang kufur dan layak untuk diperangi (Malik, 2016).
Zakat Ekonomi Kemanusiaan
Pengelolaan zakat pada zaman Nabi Muhammad SAW merupakan sistem yang efektif dan transparan dalam menciptakan kesejahteraan sosial dan keadilan ekonomi. Para amil zakat berperan penting dalam pengumpulan dan pendistribusian zakat, yang dilakukan sesuai dengan ketentuan nishab dan delapan asnaf yang berhak menerima. Pada zaman Nabi Muhammad SAW, amil zakat dipilih dari kalangan sahabat yang dipercaya dan memiliki integritas tinggi. Mereka berperan besar dalam memastikan zakat dikumpulkan dari orang-orang yang telah mencapai nishab dan didistribusikan kepada yang berhak. Salah satu amil zakat terkenal pada masa Nabi adalah Mu’adz bin Jabal yang dikirim ke Yaman untuk mengumpulkan zakat dari umat Muslim di sana. Para amil memiliki tanggung jawab besar dalam menjaga kepercayaan publik terhadap sistem zakat, memastikan tidak ada penyalahgunaan, dan menjamin distribusi yang tepat.
Zakat juga dijadikan sebagai mekanisme untuk membebaskan budak, membantu orang yang berhutang, serta mendukung perjuangan di jalan Allah (fisabilillah). Dengan demikian, zakat tidak hanya bersifat karitatif tetapi juga produktif, membantu memperbaiki kondisi ekonomi masyarakat secara keseluruhan.
Zakat merupakan instrumen pengentasan kemiskinan yang mengandung tiga dimensi sekaligus, yaitu spiritual personal, sosial, dan ekonomi (Murniati & Beik, 2014). Di antara tujuan zakat adalah mengentaskan beragam persoalan masyarakat seperti kemiskinan dan kesenjangan pendapatan (Qardhawi, 2001; Hafidhuddin, 2002).
Zakat produktif dianggap lebih efektif dalam meningkatkan kesejahteraan mustahik dibandingkan zakat konsumtif (Anovani, 2021; Harmelia et al., 2020; Ali et al., 2016; Beik dan Pratama, 2017).
Lembaga-lembaga zakat,seperti: Dompet Dhuafa, Rumah Zakat Indonesia, Badan Amil Zakat Nasional dan lain-lain telah mengembangkan program-program pemberdayaan masyarakat (Kosasih, 2019; Ridwan et al., 2020; Puskas BAZNAS, 2021).
Dalam konteks yang lebih luas, zakat memiliki potensi besar dalam menciptakan perubahan sosial yang signifikan (Kahf, 2003). Melalui zakat, umat Muslim mengambil bagian dalam redistribusi kekayaan, mengurangi ketimpangan sosial, dan mendorong kesadaran sosial serta tanggung jawab dalam masyarakat (Sarea dan Hanefah, 2013).
Kesimpulan
Sejarah zakat di zaman Rasulullah Muhammad SAW memberikan inspirasi dan pedoman yang kuat bagi umat Islam dalam menunaikan kewajiban zakat. Argumentasi dari para imam besar fiqh dan ahli ekonomi dunia Islam menegaskan bahwa zakat bukan hanya sekadar kewajiban religius, tetapi juga instrumen keadilan sosial, ekonomi, dan kemanusiaan. Dengan merenungkan praktik zakat di masa lalu, umat Islam diharapkan dapat meneladani semangat dan nilai-nilai yang terkandung dalam pelaksanaannya, sehingga dapat menciptakan masyarakat yang lebih adil dan sejahtera.
Zakat berperan dalam menciptakan keadilan sosial, mendukung stabilitas masyarakat, dan memperbaiki relasi antara kaya dan miskin. Dengan merenungkan pendapat ini, umat Islam diharapkan dapat memahami dan melaksanakan zakat dengan lebih baik, sehingga dapat mewujudkan masyarakat yang adil dan sejahtera.
Sejarah zakat di masa Nabi ini relevan untuk diterapkan dalam konteks modern, di mana pentingnya solidaritas dan keadilan sosial tetap menjadi isu utama. Pentingnya tanggung jawab sosial dan kepedulian terhadap sesama. Peran amil sangat krusial dalam memastikan bahwa zakat dikelola dengan baik dan tepat sasaran. Momentum Maulud Nabi menjadi pengingat bagi kita untuk terus menerapkan ajaran-ajaran Nabi, termasuk dalam hal zakat.
Zakat telah menjadi alat untuk menegakkan keadilan sosial, mengurangi kemiskinan, dan mempererat tali persaudaraan antar umat dan memperkuat solidaritas dan mengatasi ketimpangan sosial, mengurangi jurang antara kelompok yang berbeda dalam Masyarakat, kesetaraan dan keadilan yang mendorong penerima manfaatnya untuk menjadi anggota masyarakat yang lebih mandiri dan Sejahtera. (srv)