Kontroversi Pengelolaan Perikanan Tangkap

INDOPOSCO.ID – Direktorat Jenderal Perikanan Tangkap (DJPT) Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) menerapkan pengelolaan perikanan terukur tahun 2022. Tujuannya agar ekonomi dan ekologi dapat berjalan seimbang. Untuk menerapkan hal tersebut, sejumlah program seperti pembagian zona penangkapan ikan terukur di Wilayah Pengelolaan Perikanan Negara Republik Indonesia (WPPNRI). Termasuk implementasi penerimaan negara bukan pajak (PNBP) pascaproduksi serta sistem kontrak penangkapan ikan.
Direktur Jenderal Perikanan Tangkap, Muhammad Zaini menjelaskan, penangkapan ikan akan diatur berdasarkan kuota tangkapan (catch limit). Selain itu, pengendalian dilakukan dengan perizinan mempertimbangkan kuota per kapal perikanan (ouput control).
“Tahun ini kita siapkan 79 pelabuhan perikanan tempat pangkalan kapal perikanan izin Pusat yang akan dikembangkan sarana dan prasarana, serta sumber daya manusianya agar dapat menerapkan PNBP pascaproduksi,” ujarnya, dalam keterangannya, Sabtu (8/1/2022).
Di samping itu, akan dilakukan pengembangan empat pelabuhan perikanan berwawasan lingkungan (eco fishing port), 10 lokasi integrated fishing port and international fish market (IFPIFM) phase I dan 10 lokasi IFPIFM phase II melalui pinjaman dan hibah luar negeri (PHLN). Sedangkan dari dana alokasi khusus (DAK) kelautan dan perikanan pengembangan pelabuhan perikanan dilakukan pada 66 lokasi di 23 Provinsi.
Baca Juga: Tingkatkan Pelayanan, Dua Satker KKP Jadi BLU
“Untuk mendukung penangkapan ikan terukur, 120 Kampung Nelayan Maju juga kita siapkan dengan sinergi kementerian/lembaga terkait termasuk dukungan perlindungan dan pemberdayaan nelayan,” imbuhnya.
Menanggapi kebijakan pemerintah, Wakil Ketua Komite Perikanan Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo), Hendra Sugandhi mengatakan, ada beberapa catatan untuk pemerintah. Estimasi potensi dan jumlah tangkapan yang diperbolehkan masih berdasarkan data usang. Bahkan, kajian Komnas Kajiskan 5 tahun lalu tanpa melihat tingkat status pemanfaatannya.
“Jumlah tangkapan yang diperbolehkan yang dijadikan dasar acuan diragukan validitasnya digunakan sistem kontrak saat ini. Seharusnya ada pemutakhiran hasil kajian yang dilakukan evaluasi secara periodik,” tegas dia.
Menurut Hendra, sistem kontrak mengesampingkan kepentingan nelayan pemodal kecil perorangan dengan ketentuan yang memberatkan yaitu Kuota usaha paling sedikit 100 ribu ton dan modal usaha paling sedikit Rp200 miliar tidak termasuk tanah dan bangunan.
“Pada tahun keempat kuota usaha dipaksakan 100 persen tanpa melihat trend CPUE (catch per unit effort) membahayakan keberlanjutan. Pemegang kontrak kerja harus menanggung resiko tetap harus membayar pungutan hasil perikanan sesuai kuota usaha per tahun yg harus dicapai. Ini sama saja dengan estimasi pemungutan pra produksi,” bebernya.
Kontroversi kebijakan perikanan ini memang makin bergejolak dilapangan, tatkala pemerintah kembali mengijinkan kapal-kapal besar yang dikenal dengan kapal eks asing mengeksplor laut Indonesia.
“Sebaiknya kapal asing tidak masuk wilayah teritorial kedaulatan RI seharusnya nelayan lokal yang memanfaatkannya,” pungkas Hendra. (ney)