Nasional

Hukuman Mati Koruptor, Hati-Hati Memaknai Pasal 2 Ayat (2) UU Tipikor

INDOPOSCO.ID – Wacana Hukuman mati bagi koruptor oleh Jaksa Agung ST Burhanudin menuai polemik dari berbagai pihak. Pakar hukum sekaligus akademisi Universitas Gadjah Mada (UGM) Djoko Sukisno turut angkat bicara.

“Walaupun hukuman mati diijinkan menurut Pasal 2 ayat (2) UU Tipikor, namun harus dicermati pula penjelasannya,” ujar Djoko Sukisno dalam keterangan, Senin (6/12/2021).

Ia menjelaskan, bahwa hukuman mati koruptor telah diatur pada Pasal 2 ayat (2) UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang Tindak Pidana Korupsi. Hukuman tersebut menjadi bagian dari Pasal 2 ayat (1) yang mengatur tentang perbuatan memperkaya diri dan orang lain yang dapat merugikan keuangan negara.

“Namun perlu kehati-hatian dalam memaknai Pasal 2 ayat (2) undang-undang tersebut yang berbunyi “Dalam hal tindak pidana korupsi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan dalam keadaan tertentu, pidana mati dapat dijatuhkan”, karena harus pula dicermati bagian penjelasan atas ayat tersebut,” ungkapnya.

Baca Juga: Penyidik Jaksa Agung Peristiwa Paniai Diminta Harus Transparan

Lebih jauh Djoko menjelaskan, bahwa yang dimaksud dengan “keadaan tertentu” dalam ketentuan tersebut dimaksudkan sebagai pemberatan bagi pelaku tindak pidana korupsi apabila tindak pidana tersebut dilakukan pada waktu negara dalam keadaan bahaya sesuai dengan UU yang berlaku. Pada waktu terjadi bencana alam nasional, sebagai pengulangan tindak pidana korupsi, atau waktu negara dalam keadaan krisis ekonomi dan moneter.

Menurut dia, pada kalimat yang menyebutkan kata “pengulangan” diawali dengan tanda baca koma. Maka anak kalimat tersebut dapat dimaknai sebagai berdiri sendiri dan tidak terkait dengan anak kalimat sebelum dan sesudahnya.

“Oleh karena itu, kalimat tersebut dapat berarti seseorang yang sudah pernah dijatuhi pidana karena melakukan tindak pidana korupsi kemudian setelah keluar dia melakukan tindak pidana korupsi lagi. Sehingga orang tersebut layak untuk dituntut hukuman mati karena dianggap tidak jera atas hukuman yang pernah dijatuhkan padanya,” terangnya.

Terkait dengan wacana hukuman mati bagi para terdakwa Jiwasraya dan Asabri, masih ujar Djoko, maka perlu juga dicermati sekali lagi apakah diantara mereka ada yang recidivis atau orang yang pernah dihukum dan melakukan tindak pidana yang sama.

“Lalu bagaimana dengan tempus delicti-nya, apakah negara dalam kondisi bencana alam atau dalam keadaan krisis moneter. Ingat, tempus delicti adalah waktu terjadinya suatu delik atau tindak pidana bukan waktu persidangannya,” katanya. (nas)

Back to top button