Nasional

Batas Kepemilikan Lahan Jadi Biang Konflik Masyarakat Adat dan BUMN

INDOPOSCO.ID – Konflik lahan antara masyarakat adat dan perusahaan plat merah kerap terjadi. Hal ini disebabkan karena ketidakjelasan batas dan hak kepemilikan lahan.

Pernyataan tersebut diungkapkan Intan Bedisa dari International NGO Forum on Indonesian Development (INFID) dalam keterangan, Senin (11/10/2021).

Menurut dia, konflik lahan tersebut bisa memicu permasalahan salah satunya ketimpangan kesejahteraan. Untuk itu ia menyerukan dan mendesak pemerintah untuk memberi perhatian dan melakukan investigasi terkait sengketa lahan masyarakat dan pemerintah tersebut.

“Kami mendesak pemerintah pusat memberikan perhatian kepada proses hukum yang tengah bergulir terhadap dua orang petani sawit di Kampar, Riau. Mereka dijadikan tersangka akibat menjual hasil kebunnya sendiri,” ungkapnya.

Ia menyebut, kedua petani tersebut merupakan anggota dari Koperasi Petani Sawit Makmur (KOPSA-M) di Desa Pangkalan Baru, Kecamatan Siak Hulu, Kabupaten Kampar, Riau.

“Terdengar janggal? Sedih, namun begitu faktanya. Kita tidak boleh menutup mata atas sejumlah konflik lahan antara masyarakat adat dan perusahaan perkebunan yang beberapa di antaranya dikelola BUMN, seperti PT Perkebunan Nusantara (PTPN) dan Perhutani,” katanya.

Menurut dia, KOPSA M tengah berjuang untuk mengembalikan lahan kebun yang telah beralih kepemilikan kepada perusahaan-perusahaan swasta melalui proses yang diduga melawan hukum.

“Masyarakat sekitar mencari nafkah dan memenuhi kebutuhan sehari-hari di lokasi usaha perusahaan. Kegiatan ini justru disikapi oleh perusahaan sebagai perbuatan melanggar hukum dan diproses melalui mekanisme pidana,” ucapnya.

Merujuk Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 53 Tahun 2021 tentang Rencana Aksi Nasional Hak Asasi Manusia (RANHAM) Tahun 2021-2025, dikatakan dia, pemerintah fokus pada perlindungan dan penghormatan HAM terhadap kelompok rentan yang meliputi perempuan, anak, penyandang disabilitas, dan kelompok masyarakat adat.

“Bahkan pemerintah sudah membentuk Gugus Tugas Nasional dan Gugus Tugas Daerah yang tugasnya meliputi pengawasan penegakan HAM hingga level daerah,” ujarnya.

Ia mengingatkan, lemahnya akuntabilitas dan transparansi pengusutan dugaan kasus kriminalisasi petani oleh korporasi tersebut mencerminkan efektifitas penegakan hak asasi manusia (HAM) di Indonesia. (nas)

Back to top button