Nasional

Pakar Hukum: Kebebasan Pers Tak Berarti Media Bisa Lakukan Penghakiman

INDOPOSCO.ID – Pemberitaan pada media mainstream sebagai tonggak kebebasan pers seharusnya tetap menjaga adanya karakter yang fair and accurate. Hindari adanya stigmatis yang pre-judicial mengarah pada kesalahan seseorang sebelum adanya putusan pengadilan.

“Sebuah informasi yang disuguhkan media sebaiknya tetap menjaga prinsip-prinsip hukum dan etika, khususnya dalam menilai dampak pemberitaannya. Misalnya kasus bancakan Bansos Banteng yang diangkat media mainstream, kan minggu ini masih berproses hukum. Sebaiknya karya jurnalistik tetap menjaga prinsip-prinsip hukum dan etika,” kata Pakar Hukum Indriyanto Seno Adji, Kamis (28/1/2021).

Menurut Indriyanto, terlihat beberapa pemberitaan di media mengenai obyek yang sama terlihat lebih menjaga etika jusnalistiknya secara akuntabel dan profesional.

“Pola pemberitaan pre-judice yang pre-judicial itu justru mengarah anggapan adanya obstruction of justice, apalagi bila kebebasan pers ini disalahgunakan bagi vested maupun political interest bahkan sebagai alat penekan dari konsinyasi politik dan ekonomi,” ucapnya.

Peran media sebagai kekuatan mediator sosial, menurutnya harus berposisi adil dan berimbang pemberitaannya. Demikian pula substansi pemberitaannya juga harus cover both sides.

“Kewajiban media melakukan komunikasi cover both sides, tapi jika substansi pemberitaan tetap prejudice, maka tetap dianggap pelanggaran hukum dan etika pemberitaan, meski menjadi polemik sebagai suatu kewajaran,” tegasnya.

Indriyanto yang merupakan Guru Besar Ilmu Hukum Universitas Krinadwipayana ini juga menegaskan, pemberian Hak Jawab dalam media, tidaklah diartikan bahwa tidak adanya pelanggaran hukum dan etika atas substansi pemberitaan.

Juga sebaiknya, lanjut Indriyanto, pemberitaan juga harus menghindari adanya pembentukan “misleading opinion” kepada publik yang justru dapat merugikan perlindungan hak asasi seseorang.

“Hak Tolak Pers sebagai Previlege Rights agar tidak disalahgunakan oleh pers untuk melakukan actual malice yang meragukan motif dari orang yang menjadi korban pemberitaannya. Ini merupakan bentuk “abuse” secara hukum dan etika,” ucapnya.

Dia mengungkapkan bahwa media tetap terikat untuk tidak melanggar Right to Distort (mengacaukan) pemberitaan yang substansinya membentuk misleading opinion bahwa seolah seseorang bertanggung jawab secara hukum.

“Pengabaian Right of Distort adalah bentuk pelanggaran etik dan hukum. Kebebasan tidak bisa dan tidak akan pernah dimaknai secara absolut tanpa batas, dan kebebasan absolut tanpa batas inilah bentuk dari pelanggaran etika dan hukum,” ujarnya. (nas)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Back to top button