PBB Sebut Seperempat Penduduk Bumi Tinggal di Daerah Konflik

INDOPOSCO.ID – Komisioner Tinggi HAM Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) Volker Turk menyatakan bahwa seperempat umat manusia tinggal di tempat-tempat yang dilanda konflik kekerasan, dan warga sipil menjadi pihak yang paling menderita.
Turk merujuk pada kekerasan yang dipimpin geng di Haiti, kekerasan polisi terhadap orang kulit hitam di AS, dan konflik di tempat- tempat seperti Eritrea, Nikaragua, wilayah pendudukan Palestina, Sudan Selatan, Sudan, dan Venezuela.
Dia mengatakan perang di Ukraina telah menyebabkan korban sipil dan kehancuran yang mengejutkan.
“Hak warga Ukraina bahkan sampai generasi mendatang akan dirugikan, dan dampak perang terhadap harga bahan bakar dan pangan, dan ketegangan geopolitik, berdampak negatif terhadap orang-orang di setiap wilayah di dunia,” kata Turk, Selasa (7/3).
Turk mengatakan kerusakan di seluruh dunia akibat peperangan di Eropa mengkhianati janji-janji perubahan transformatif yang dibuat ketika pembentukan PBB lebih dari 75 tahun yang lalu.
Turk juga menyatakan keprihatinan atas tren “matinya ruang sipil” di Rusia yang ditandai dengan penutupan surat kabar Novaya Gazeta dan Moscow Helsinki Groups.
“Pesan pro perang yang terus-menerus di media pemerintah memberi stereotip dan menghasut kebencian dan kekerasan. Lebih dari 180 kasus kriminal telah dibuka atas tuduhan terkait dugaan pencemaran nama baik Angkatan Bersenjata,” ujar dia.
Ia kemudian membahas 12 tahun perang di Suriah sebagai pertumpahan darah yang menyiksa, dan menyebut negara itu sebagai mikrokosmos dari luka yang ditimbulkan oleh penghinaan terhadap HAM.
“Gempa bumi bulan lalu telah menambah tragedi ini. Satu-satunya jalan ke depan harus melalui penghormatan terhadap hak asasi manusia dan pertanggungjawaban yang tepat dari semua orang yang telah melakukan kejahatan kekejaman–yang sudah lama tidak dimiliki Suriah,” ujar dia.
Kepala HAM PBB juga mengatakan bahwa keamanan di Mali tengah sangat mengkhawatirkan, begitu pula di daerah perbatasan antara Burkina Faso, Mali, dan Niger dengan banyak kelompok bersenjata memanfaatkan permusuhan antar-komunitas dan tidak adanya otoritas negara untuk memperluas pengaruh dan menyerang warga sipil.