Fenomena Bendera Bajak Laut, Akademisi: Ruang Kritik Masyarakat Kian Sempit

INDOPOSCO.ID – Penyandingan bendera Merah Putih dengan bendera One Piece (bajak laut) bukanlah bentuk pelecehan simbol negara, melainkan ekspresi sosial yang sarat makna.
Pernyataan tersebut diungkapkan Dosen Hubungan Internasional Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY) Ade Marup Wirasenjaya dalam keterangannya, Minggu (3/8/2025).
Fenomena ini, menurutnya, seharusnya menjadi cermin bagi para penyelenggara negara. Di balik bendera bajak laut, tersimpan rasa cinta dan kepedulian masyarakat terhadap tanah air.
Maka, lanjutnya, respons pemerintah sebaiknya tidak hanya bersifat reaktif, tetapi juga reflektif.
“Masyarakat masih bangga dengan negeri ini. Jangan abaikan suara-suara kritis yang disampaikan lewat budaya,” ujar Ade.
Ia mengatakan, selama bendera bajak laut tidak dikibarkan lebih tinggi dari Merah Putih, maka ia tidak mengancam kedaulatan.
“Ini bukan ancaman, tapi teguran. Bendera bajak laut itu menjadi simbol ketimpangan dan dominasi kekuasaan yang dirasakan masyarakat,” katanya.
Ade mengungkapkan, pemasangan bendera bajak laut merupakan bentuk kritik terbuka masyarakat. Ini dilakukan karena mereka kehabisan ruang untuk menyuarakan kritik.
“Jadi momen peringatan kemerdekaan dijadikan panggung simbolik untuk menyampaikan keresahan,” ucapnya.
“Dalam konteks ini, istilah ‘bajak laut’ menjadi metafora tajam, kemerdekaan yang dulu diperjuangkan jangan sampai ‘dibajak’ oleh segelintir elit,” tambahnya.
Ade menyatakan, kritik yang tersirat dalam pengibaran bendera One Piece bukan untuk menolak nasionalisme, melainkan untuk mengingatkan bahwa semangat kemerdekaan harus hidup dalam kebijakan dan perilaku para pemimpin.
“Nasionalisme bukan hanya soal seremoni 17 Agustus, tetapi tentang keberpihakan pada rakyat dan keadilan sosial,” terangnya.
Ade menyarankan agar pemerintah tidak hanya fokus pada simbol, tetapi juga menangkap pesan substantif di baliknya. Regulasi tentang penggunaan simbol negara memang sudah ada, namun pendekatan yang lebih edukatif dan reflektif perlu dikedepankan.
“Sosialisasi aturan harus masif dilakukan dan juga membuka ruang untuk ekspresi budaya pop yang memuat kritik sosial,” tutupnya. (nas)