Kementerian PKP Temukan Dugaan Penyimpangan Megaproyek 2.100 Rumah Eks Pejuang Timtim : Diserahkan ke Kejati NTT

INDOPOSCO.ID – Megaproyek 2.100 rumah khusus untuk eks pejuang Timor Timur di Nusa Tenggara Timur (NTT), yang seharusnya menjadi wujud penghormatan negara, kini justru berubah arah menjadi potensi skandal kegagalan pembangunan dan ancaman kerugian besar bagi keuangan negara.
Inspektur Jenderal (Irjen) Kementerian Perumahan dan Kawasan Permukiman (PKP), Heri Jerman mengungkapkan bahwa hasil pemeriksaan tertutup bersama Tim Teknis Universitas Cendana Kupang menemukan indikasi kuat pelanggaran teknis dan dugaan penyimpangan kontrak dalam pembangunan rumah khusus eks pejuang Timor Timur.
“Dikerjakan Tiga BUMN, dengan anggaran mencapai ratusan miliar Rupiah,” katanya dalam keterangan diterima INDOPOSCO.ID pada Minggu (25/5/2025).
Menurutnya, proyek yang menggunakan metode pembangunan Rumah Instan Sederhana Sehat (RISHA) ini dibagi dalam tiga paket pengerjaan yang masing-masing ditangani oleh BUMN besar dengan rincian paket kerja yakni Paket I – PT. BA (BUMN) nilai kontrak addendum Rp141,97 miliar untuk 727 unit rumah, Paket II – PT. NK (BUMN) nilai kontrak addendum Rp136,95 miliar untuk 687 unit rumah Paket III – PT. AK (BUMN) nilai kontrak addendum Rp143,84 miliar untuk 686 unit rumah, Manajemen konstruksi oleh PT. YK (Persero) KSO PT. HD, Total nilai kontrak MK Rp6,78 miliar
“Namun, di balik besarnya nilai proyek tersebut, hasil pemeriksaan di lapangan menunjukkan bahwa hampir seluruh unit rumah mengalami kerusakan struktural akibat pembangunan yang tidak sesuai dengan pedoman teknis,” ujarnya.
Mantan Kajati Bengkulu itu menegaskan, kerusakan berat pada struktur bangunan disebabkan penggunaan beton di luar spesifikasi teknis.
Dari uji petik terhadap 59 unit rumah, ditemukan retakan horizontal, bangunan miring, hingga tembok patah—indikasi bahwa konstruksi tidak mengikuti kontrak dan RKS.
Retakan bersudut lebih dari 60 derajat dengan lebar hingga 2 cm menunjukkan adanya tegangan tarik berlebih akibat penurunan tanah yang tidak seragam.
“Kondisi ini berbahaya, karena secara teknis beton hanya kuat menahan tekanan, bukan tarikan. Tanpa tulangan yang memadai, struktur beton dipastikan retak,” tuturnya.
Selain itu, lebih mengkhawatirkan kedalamn pondasi hanya sekitar 30 hingga 40 centimeter yang seharusnya 90 centimeter hingga 1,20 centimeter.
Lanjutnya, hal ini mengindikasikan lemahnya perencanaan teknis, terutama di wilayah tanah lunak yang rentan jenuh air. Temuan ini kata dia, memperkuat dugaan bahwa konstruksi dilakukan tanpa memperhatikan prinsip dasar rekayasa sipil.
“Melihat bobot temuan dan potensi kerugian negara, kami, secara resmi menyerahkan kasus ini kepada Kejaksaan Tinggi NTT pada Kamis, 20 Maret 2025. Berkas diterima langsung oleh Kepala Kejati untuk ditindaklanjuti dalam proses hukum,” pungkasnya. (fer)