Headline

Alkes dan Obat-Obatan Mahal, DPR: Menteri Tak Bisa Jabarkan Visi Industri Presiden

INDOPOSCO.ID – Wakil Ketua DPR RI Bidang Koordinator Perindustrian dan Pembangunan (Korinbang) Rachmat Gobel mengatakan, harga alat-alat kesehatan (alkes) dan obat-obatan di Indonesia jauh lebih mahal daripada di negara lain karena masih ada pejabat yang kurang memiliki visi dan komitmen dalam membangun industri dalam negeri di bidang kesehatan.

Hal itu disampaikan dalam rangka menanggapi keluhan presiden terkait mahalnya harga alkes dan obat-obatan di Indonesia dibandingkan Malaysia. Karena itu, presiden meminta agar kementerian terkait segera menyelesaikan persoalan tersebut.

“Masih ada pejabat dan menteri yang tidak bisa memahami dan tidak bisa menjabarkan visi industri dan komitmen Presiden dalam membangun industri dalam negeri. Sudah beberapa kali Presiden mengeluhkan soal impor ini,” kata Gobel dalam keterangannya sebagaimana dikutip dari laman DPR RI, Jumat (5/7/2024).

Pada sisi lain, industri farmasi Indonesia justru tak tumbuh dengan baik di tengah harga yang mahal tersebut. Bahkan BUMN farmasi dan kesehatan Indonesia juga sedang sekarat. Obat dan alkes di Indonesia masih sangat didominasi oleh impor.

“Jangan cuma bisa berdagang, tapi bagaimana membuat barang dengan membangun industri dalam negeri dan menciptakan nilai tambah,” kata Politisi Fraksi Partai NasDem ini.

Kecenderungan untuk mengutamakan impor daripada membangun industri dalam negeri, kata Gobel, juga terjadi beberapa waktu lalu. Pemerintah merevisi Peraturan Menteri Perdagangan No 36 Tahun 2023 dengan Permendag No 8 Tahun 2024. Permendag No 8 ini memberikan relaksasi bagi impor elektronika, alas kaki, pakaian jadi dan asesoris pakaian jadi, tas, dan katup.

Dimana aturan baru tersebut menghilangkan syarat pertimbangan teknis untuk produk-produk yang sebetulnya sudah banyak diproduksi di dalam negeri. Padahal baru dua bulan sebelumnya, sudah ada Permendag No 7 Tahun 2024 yang mensyaratkan ada pertimbangan teknis.

“Akibatnya terjadi banjir impor, yang mematikan industri dalam negeri. Dampak yang paling nyata adalah tutupnya pabrik tekstil dan pabrik garmen yang menimbulkan pengangguran puluhan ribu tenaga kerja,” ucapnya.

Rachmat Gobel mengatakan, semestinya Indonesia sudah bisa memiliki industri farmasi dan alkes yang besar. Ini karena jumlah penduduk Indonesia yang besar, tingkat kesejahteraan yang meningkat, dan memiliki sistem jaminan kesehatan yang baik.

“Jumlah penduduk yang besar dan tingkat kesejahteraan yang meningkat itu kan artinya pasar yang besar dan daya beli yang baik juga. Ini merupakan posisi tawar yang baik bagi Indonesia untuk mendapatkan harga yang kompetitif, tapi nyatanya justru harga obat dan alkes di Indonesia jauh lebih mahal daripada di negara lain. Ini berarti ada yang salah pada penyelenggara negara. Tugas pejabat itu meringankan rakyat, bukan membebani rakyat,” kata Mantan Menteri Perdagangan ini.

Kehadiran industri farmasi dan alkes di dalam negeri, kata Gobel, sangat penting untuk membangun ekosistem yang sehat. Kehadiran industri nasional yang sehat, katanya, menjadi indikator bahwa iklim ekonominya kompetitif dan iklim investasinya sehat.

“Jika industri nasional tidak tumbuh padahal permintaan dan harganya tinggi berarti ada sesuatu yang sakit,” katanya.

Selain itu, katanya, industri farmasi dan industri alkes itu harus menjadi bagian dari industri strategis karena mengandung unsur teknologi pertahanan. Sehingga Indonesia harus menguasai teknologi alkes dan teknologi farmasi ini.

Gobel juga mengungkapkan bahwa keberadaan sistem jaminan kesehatan nasional juga menunjukkan ada standing buyer yang pasti dengan kuantitas yang tinggi. Sejak 2014, katanya, BPJS Kesehatan telah hadir di Indonesia. Badan ini menjamin biaya kesehatan sebagian besar penduduk Indonesia. Kehadiran badan ini, katanya, didampingi oleh Komite Nasional Penyusunan Formularium Nasional. Komite ini selanjutnya mengeluarkan Formularium Nasional, yaitu daftar obat yang dijamin pembiayaannya oleh BPJS Kesehatan.

Dari daftar itu akan ketahuan obat apa saja yang dibutuhkan, dan dari data pembiayaan oleh BPJS Kesehatan juga sudah bisa diketahui daftar obat apa saja yang dikonsumsi dan berapa nilainya untuk masing-masing jenis obat. Jadi pemerintah cukup memiliki data untuk menyusun roadmap kebijakan industri farmasi, bahkan by name by address dan di wilayah mana saja,” pungkasnya. (dil)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Back to top button