2 Tahun Jokowi-Ma’ruf, Kontras Nilai Demokrasi Mati Perlahan

INDOPOSCO.ID – Komisi Untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) melakukan, evaluasi terhadap kinerja Presiden Joko Widodo (Jokowi) dan Wakil Presiden Ma’ruf Amin yang bertepatan 2 tahun kepemimpinannya.
Laporan evaluatif itu berisikan sejumlah catatan untuk menguji sejauh mana penyelenggaraan negara telah tunduk pada prinsip demokrasi, HAM dan rule of law.
Koordinator KontraS Fatia Maulidiyanti menilai, situasi demokrasi di Indonesia saat ini merosot tajam di tahun ke-2 kepemimpinan Jokowi-Ma’ruf Amin. Masih nihilnya komitmen dalam melakukan perbaikan.
Kondisi demokrasi justru memburuk dengan abainya negara terhadap perlindungan, penghormatan dan pemenuhan HAM sebagai mandat konstitusi.
“Sepanjang memimpin di periode kedua, demokrasi mati secara perlahan di mana dapat dilihat dari situasi kebebasan sipil yang makin memburuk. Makin massifnya terhadap terhadap pembela HAM,” kata Fatia dalam keterangan virtual, Selasa (19/10/2021).
Negara dinilai kian abai terhadap kasus-kasus pelanggaran HAM berat masa lalu, pendekatan represif di Papua minim koreksi, minim komitmen terhadap instrumen HAM Internasional. Serta nihilnya partisipasi dalam pembuatan regulasi.
“Situasi kebebasan sipil yang semakin memburuk tercermin dari berlanjutnya represi di ruang publik,” tutur Fatia.
Berdasarkan data yang dikantongi KontraS, sepanjang periode September 2019–September 2021, telah terjadi setidaknya 360 peristiwa pelanggaran kebebasan berekspresi dengan kepolisian sebagai pihak yang paling banyak melakukan pelanggaran.
Adapun pola pelanggarannya masih seputar pembubaran paksa, yang sering kali diikuti dengan penangkapan sewenang-wenang. Selain pembatasan kebebasan sipil terjadi di lapangan, maraknya serangan digital juga kian mengancam masyarakat yang aktif
mengkritik dalam media digital.
“Kami melihat, serangan digital paling banyak terjadi pada pihak yang bicara tentang kinerja pemerintah, khususnya pada isu korupsi, dengan bentuk
serangannya paling banyak berupa peretasan,” ujar Fatia.
Bahkan diperparah dengan keberadaan UU ITE dan pembentukan Virtual Police yang justru mengatur dan menindak ekspresi warga negara. Dalam kasus penggunaan UU ITE, penindakan paling banyak terjadi dalam isu-isu mengkritik suatu institusi dengan korban paling banyak adalah warga sipil. (dan)