Headline

Makna Politik KLB Demokrat

INDOPOSCO.ID – Kemunculan Kepala Staf Kepresidenan (KSP) Moeldoko sebagai Ketua Umum Partai Demokrat (PD) versi Kongres Luar Biasa (KLB) di Deli Serdang, Sumatera Utara menjadikan dualisme kepemimpinan di dalam tubuh PD. Sebelumnya PD dipimpin oleh AHY (Agus Harimurti Yudhoyono) dalam Kongres V yang digelar Ahad pada 15 Maret 2020.

Sejarah mencatat bahwa KLB sebuah partai politik selalu menyisakan konflik internal yang penyelesaiannya bisa bertahun-tahun. Kedua belah pihak akan saling klaim, bahkan gugatan di pengadilan. Kalau ini yang terjadi, maka masa depan PD menjadi suram, apalagi menghadapi Pemilihan Presiden (Pilpres) 2024.

Dr Ahmad Atang, pengamat politik dari Universitas Muhammadiyah Kupang, Nusa Tenggara Timur |(NTT) memberikan gambaran bahwa manajemen pengelolaan partai politik (parpol) di Indonesia masih sangat tradisional, sehingga tidak ada mekanisme penyelesaian konflik.

”Konflik parpol di Indonesia selalu diawali dengan konflik elite. Kenyataan ini menunjukkan bahwa elite politik di republik ini belum dewasa dan masih labil dalam berpolitik,” tandasnya.

Parpol hanya institusi demokrasi untuk mewujudkan kebaikan bersama. Karena itu, partai harus menjadi sarana untuk membangun kualitas demokrasi bukan sebaliknya memundurkan demokrasi. Konflik partai merupakan bentuk dari buruknya praktik demokrasi. Karena itu, jika ingin demokrasi menjadi baik di Indonesia, maka harus dilakukan perbaikkan terhadap parpol.

”Ini penting karena salah satu fungsinya adalah menyediakan sumberdaya untuk mengisi kepemimpinan nasional. Demokrasi di Indonesia akan baik dan berkualitas maka partai politiknya harus baik dan itu jaminannya,” ujarnya.

Mikhael Raja Muda Bataona, akademisi dari Universitas Katolik Widya Mandira (Unwira) Kupang mengatakan, konflik yang terjadi di pusaran kekuasaan partai Demokrat sampai terbelah dua saat ini, bukan sebuah peristiwa aksidental, tapi justru mensejarah dalam jejak pengelolaan partai ini.

“Saya membaca kemelut PD tidak boleh direduksi hanya pada kasus KLB, tetapi harus dicek secara kronologis jejak-jejak pertarungan dan peristiwa latar, juga variabel-variabel kunci yang bermain hingga terjadinya KLB ini,” kata pengajar Investigatif News dan Jurnalisme Konflik pada Fisip Unwira Kupang ini.

Residu kongres luar biasa pergantian Anas Urbaningrum ketika itu saat ditetapkan sebagai tersangka oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) adalah awal mula pecahnya partai ini.

Naiknya Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) menggantikan Anas Urbaningrum, di mana orang-orang Anas kemudian dibabat habis ketika itu adalah basis material atau sebab lainnya yang membuat kasus saat ini demikian parah dan panas.

Belum lagi dilanjutkan dengan kongres partai setahun silam yang disebut tidak demokratis, yang menetapkan AHY sebagai ketua umum adalah pemicu berikutnya yang turut serta menjadi variabel perusak harmoni partai berikutnya dari internal.

”Jadi fenomena ini jika dikaji dari perspektif politik kekuasaan, maka inilah wajah asli pertarungan kekuasaan di internal parpol. Jamak terjadi dan biasa terjadi karena yang paling purba dalam urusan politik adalah pertarungan kekuasaan dan kepentingan. Di mana, secara ilmu, harus dipahami bahwa tidak ada entitas sosial politik yang sangat solid, bersatu padu dan utuh,” katanya dilansir Antara.

Parpol memang tidak mungkin solid. Partai apa pun pasti terfragmentasi dalam banyak faksi. Hanya saja bagaimana kepemimpinan-nya yang akan menentukan solid tidaknya partai tersebut.

Sebagai entitas politik, parpol seperti Demorkat adalah bangunan megah yang hanya nampak kompak dan kokok dari luar tapi di dalam sebenarnya tidak seperti itu.

Dalam setiap parpol, sudah menjadi hal wajib bahwa sepanjang waktu akan penuh dengan pertarungan, gesekan, kompetisi dan bahkan saling jegal antarfaksi. Karena itu, fenomena KLB Demokrat ini dari kaca mata teori konflik, misalnya, itu hal lumrah dan biasa. Tinggal bagaimana manajemen kepemimpinan-nya, sebab bertarung antarfaksi itulah jati diri setiap organisasi politik.

Hanya saja dalam kasus ini Demokrat sedang ketiban sial, sebab kepemimpinannya yang tidak mampu menyatukan faksi-faksi dalam partai tersebut. Setiap ketua umum partai di segala level harusnya paham apa yang paling primer menjadi budaya dalam politik yaitu perebutan kekuasaan itu abadi.

Maka siapa pun pemimpin partai, harus sudah paham sejak awal bahwa tugasnya adalah memanajemen semua faksi yang saling berkompetisi bahkan saling jegal di internal partai untuk bersatu memberi yang terbaik bagi kemajuan partai.

Kasus Demokrat juga memberi semacam pesan politik bahwa ke depannya, bisa saja akan terjadi fenomena merosotnya aura oligarki politik di Indonesia. Mengapa merosot? Ini karena faksi-faksi di internal partai saat ini mulai tidak lagi mengakui dan tunduk pada kekuatan elite di internal partai.

Kekuatan elite yang kadang disebut dalam aliran kritis sebagai oligarki parpol ini harus diakui sebagai kekuatan pemersatu hampir semua partai di Indonesia. Nah, ketika oligarki yang umumnya telah menjelma menjadi elite dalam partai tersebut tidak lagi dihargai oleh semua faksi di internal partai maka jalan menuju perpecahan itu hanya menunggu waktu.

Jadi kasus Demorkat sampai adanya KLB adalah simbol yang menyingkap fenomena menarik ini. Bahwa meskipun di hampir semua parpol oligarki itu sangat kuat, tapi pada suatu titik bisa saja menjadi tak lagi berwibawa dan tak punya aura.

Di mana ketika wibawa dan aura oligarki tersebut memudar maka perpecahan partai adalah konsekuensinya. Dalam bahasa lain, fenomena PD ini bisa disebut berbanding lurus dengan tesis lama dalam ilmu politik tentang Hukum Besi Oligarki

Bahwa elite dalam tubuh birokrasi partai politik adalah sumber masalah yang potensial menghancurkan sebuah partai. Bila konflik di Demokrat ini bisa terselesaikan dengan baik, bisa jadi PD meraih insentif elektoral pada Pemilu 2024. Tapi sebaliknya bila tidak terselesaikan, bisa saja PD tinggal kenangan. (aro)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Back to top button