Dewasa Secara Emosi: Cenderung Memiliki Kenangan yang Menyedihkan

INDOPOSCO.ID – Wajahnya tenang, tutur katanya tertata, dan responnya nyaris selalu bijak. Di tengah konflik, ia tetap kokoh. Saat orang lain mulai marah, ia justru memilih untuk tetap lembut. Banyak orang melihatnya sebagai pribadi yang dewasa secara emosi. Namun, sedikit yang tahu bahwa di balik kedewasaan itu, sering kali tersembunyi kenangan yang tak mudah, bahkan menyakitkan.
Mengapa justru orang yang paling stabil secara emosional sering menyimpan begitu banyak cerita sedih di masa lalu? Apa hubungannya dengan kedewasaan yang kini dimilikinya?
Seseorang tidak tiba-tiba menjadi matang secara emosi. Kedewasaan ini sering kali lahir dari pengalaman. Tak jarang, dari pengalaman yang menyakitkan. Perpisahan, kehilangan, pengkhianatan, pengabaian di masa kecil, atau masa remaja yang penuh tekanan. Semua itu bisa menjadi bagian dari “sekolah kehidupan” yang mengajarkan seseorang cara menghadapi dan memahami emosi.
Ia yang pernah merasakan bagaimana rasanya ditinggalkan, akan lebih peka terhadap perasaan ditolak. Ia yang pernah merasa tak dianggap, akan lebih berhati-hati dalam memperlakukan orang. Luka-luka itu tidak membuatnya pahit, justru mengajarkannya cara menjadi manusia yang lebih utuh.
Pelajari Kematangan Emosional dari Tokoh Terkenal
Lihatlah kisah Musashi Miyamoto, dikenal sebagai filsuf sekaligus ahli pedang. Sejak kecil, Musashi hidup dalam isolasi dan peperangan. Namun, dari keterasingan itu, lahirlah pemikiran mendalam tentang hidup.
Sejak usia muda, Musashi hidup terpisah dari orang tuanya. Ia tumbuh dalam kondisi yang keras, tanpa banyak kasih sayang, dan selalu berada dalam situasi hidup atau mati. Dalam The Book of Five Rings, ia menuliskan filosofi hidup yang mendalam, bukan hanya soal teknik bertarung, tapi juga soal penguasaan diri dan emosi.
Dalam The Book of Five Rings, ia menulis “Perceive that which cannot be seen with the eye.” yang berarti “Pahami apa yang tidak bisa dilihat dengan mata”.
Musashi tidak menutupi masa lalunya yang penuh darah dan kehilangan. Sebaliknya, ia memaknai setiap pertempuran sebagai cermin atas dirinya sendiri.
Empati Lahir dari Luka yang Disadari
Setelah melihat kisah hidup dari Musashi Miyamoto. Banyak orang sering salah paham terhadap ketenangan yang dimiliki seseorang. Mereka mengira ia tidak pernah terluka, tapi hakikatnya hanya dirinya sendiri yang tahu.
Sebuah studi dari Journal of Personality and Social Psychology (2017) menunjukkan bahwa orang yang pernah mengalami beban emosional berat, dan berhasil memprosesnya, cenderung memiliki empati dan kemampuan regulasi emosi yang lebih tinggi. Ia pun jadi lebih kuat saat menghadapi stres, dan tidak mudah meledak ketika terluka.
Kecerdasan emosional tidak diwariskan. Ia dibentuk dari pola asuh, lingkungan, dan hubungan sosial. Saat hidup menyakitinya, seseorang dihadapkan pada dua pilihan: menutup diri, atau belajar dan tumbuh. Ia yang memilih jalan kedua, jalan yang lebih berat menemukan kebebasan dalam pertumbuhan.
Ia mengenali batas, belajar memaafkan, dan menyadari bahwa tidak semua hal bisa dikendalikan. Tapi ia tetap memilih bagaimana meresponnya dengan bijaksana.
Cara Agar Tenang Hadapi Cobaan Hidup
Salah satu alat yang banyak digunakan untuk menumbuhkan kedewasaan emosional adalah filosofi kuno bernama stoikisme. Ajaran ini berasal dari Yunani-Romawi dan mengajarkan bahwa kita tidak bisa mengendalikan peristiwa di luar diri kita, tapi kita bisa mengendalikan cara kita meresponsnya.
Seneca, salah satu tokoh Stoik, pernah menulis “We suffer more often in imagination than in reality.” yang berartikan Kita lebih sering menderita dalam pikiran kita daripada dalam kenyataan.
Stoikisme mengajarkan untuk tidak menolak kesedihan, melainkan menerimanya sebagai bagian dari hidup yang tak terhindarkan. Seperti halnya Musashi yang memaknai kesendiriannya, stoikisme mengajarkan kita untuk bersikap tenang di tengah gejolak tidak dengan mematikan emosi, tapi dengan membingkainya secara bijak.
Bagi banyak orang modern, prinsip stoikisme menjadi semacam “kompas batin” dalam menghadapi perasaan: ketika ditinggalkan, gagal, atau kecewa, stoikisme membantu kita untuk tetap tenang, merenung, dan mengambil makna. Ini bukan soal membenamkan kesedihan, melainkan menyadari bahwa kesedihan pun bisa membawa pelajaran.
Luka yang Disadari, Bukan Disangkal
Belajar menyadari bahwa kedewasaan emosional tidak lahir dari hidup yang tenang, tapi dari keberanian menghadapi luka. Ia pernah menangis, jatuh, patah. Tapi ia juga bangkit dan tidak pernah berhenti belajar.
Ia tahu rasanya rapuh. Maka, ia memilih untuk tidak menjadi penyebab luka bagi orang lain. Ia menjadi tempat yang aman, karena ia tahu bahwa dunia sudah cukup keras tanpa menambah beban di pundak sesama.
Inilah keindahan dari kedewasaan. Bukan tentang menjadi sempurna. Tapi tentang bagaimana seseorang mengolah luka menjadi kebijaksanaan. Dari kenangan yang paling menyakitkan, justru ia belajar untuk menjadi pribadi yang paling kuat dan paling lembut. (srv)
Penulis :
Shalsabhilla Putri
Mahasiswi Politeknik Negeri Jakarta