Gaya Hidup

Analisis Kesejahteraan Gen Z di Era Digital; Disrupsi Teori Hierarki Kebutuhan Maslow

INDOPOSCO.ID – Kondisi saat ini terlihat generasi Z menempatkan aktualisasi diri pada prioritas utama dalam lingkungan digital, dari pada kebutuhan dasar lainnya.

FOMO menjadi salah satu gejala yang tumbuh dari aktualisasi diri dalam lingkungan digital, status lingkungan digital dianggap terpenting dari pada status pada dunia nyata. Munculnya joki-joki aplikasi strava sebagai akibat FOMO akan aktualisasi diri dalam lingkungan digital.

Teori Hierarki Kebutuhan Maslow, yang diperkenalkan oleh Maslow pada tahun 1943, telah menjadi fondasi penting dalam memahami motivasi manusia (Agile Organization Development, 2004.). Teori ini menggambarkan kebutuhan manusia dalam lima tingkatan hierarki dimulai dari kebutuhan dasar manusia, yaitu kebutuhan fisiologis, kebutuhan rasa aman, kebutuhan cinta dan rasa memiliki, kebutuhan penghargaan, dengan puncaknya kebutuhan akan aktualisasi diri (Anna Lindh Foundation, 2022).

Pendekatan utama teori ini adalah bahwa individu perlu memenuhi kebutuhan pada tingkat dasar sebelum termotivasi oleh kebutuhan di tingkat yang lebih tinggi. Teori Maslow telah memberikan kontribusi signifikan dalam berbagai disiplin ilmu, termasuk psikologi, manajemen, dan pemasaran.

Munculnya Generasi Z, yang lahir antara akhir 1990-an dan awal 2010-an, membawa karakteristik dan konteks kehidupan yang unik. Tumbuh di era teknologi digital, globalisasi, media sosial dan informasi yang bergerak sangat cepat, generasi Z memiliki kedekatan mendalam dengan teknologi digital, internet dan infomasi yang sangat mempengaruhi cara mereka berinteraksi, belajar, dan memandang dunia (Vallabh Chitnis, 2021).

Fenomena yang muncul dan menarik adalah kecenderungan Generasi Z yang terlihat memprioritaskan kebutuhan tingkat tinggi, yaitu aktualisasi diri, sebagai kebutuhan dasar. Sejak usia muda, mereka menunjukkan keinginan kuat untuk mencari jati diri, mengekspresikan identitas, dan ikut terlibat dalam isu sosial, bahkan sebelum mencapai stabilitas dalam kebutuhan mendasar seperti keamanan finansial (Vallabh Chitnis, 2021.).

Pergeseran ini menimbulkan pertanyaan tentang validitas dan relevansi Teori Hierarki Kebutuhan Maslow dalam konteks kehidupan Generasi Z di abad ke-21.
Laporan ini bertujuan untuk menganalisis dugaan disrupsi Teori Hierarki Kebutuhan Maslow oleh Generasi Z. Analisis ini akan menggunakan Teori Penentuan Diri (Self-Determination Theory) dan Model Kesejahteraan Psikologis Carol Ryff.

Selain itu, laporan ini akan mempertimbangkan peran budaya digital, perbandingan sosial, dan fenomena Fear of Missing Out (FOMO) dalam membentuk motivasi dan prioritas Generasi Z atas tingkatan kebutuhannya.

Dekonstruksi Teori Hierarki Kebutuhan Maslow

Teori Hierarki Kebutuhan Maslow menggambarkan lima tingkatan kebutuhan manusia yang tersusun hierarkis. Tingkat dasar adalah kebutuhan fisiologis, termasuk makanan, air, tempat tinggal, tidur, dan kesehatan. Bagi Generasi Z, ini dapat diperluas mencakup kebutuhan psikologis digital dan aksesibilitas teknologi (Vallabh Chitnis, 2021).

Tingkat berikutnya adalah kebutuhan rasa aman, yang meliputi keamanan fisik dan emosional, termasuk keamanan dan privasi digital bagi Generasi Z. Generasi ini juga memprioritaskan keamanan psikologis dan kesejahteraan mental.

Setelah kebutuhan fisiologis dan rasa aman terpenuhi, individu naik ke tingkat ketiga, mencari kebutuhan cinta dan rasa memiliki, yang melibatkan koneksi sosial dan rasa menjadi bagian dari komunitas, termasuk komunitas daring bagi Generasi Z. Inklusivitas dan rasa memiliki secara sosial juga penting bagi generasi Z.

Tingkat keempat adalah kebutuhan penghargaan, yang mencakup harga diri, pengakuan, rasa hormat, pencapaian, dan status sosial, yang sangat dipengaruhi oleh validasi daring dan pengakuan daring dan identitas digital bagi Generasi Z sangat dihargai.

Di puncak hierarki tertinggi adalah kebutuhan aktualisasi diri, yaitu realisasi penuh dari potensi diri, pertumbuhan pribadi, kreativitas, dan pemenuhan aktualisasi diri, yang bagi Generasi Z terjalin dengan ekspresi daring dan partisipasi dalam peristiwa penting yang terekam dalam dunia digital. Ekspresi diri, eksplorasi identitas dalam dunia digital merupakan aktualisasi diri yang sentral bagi generasi Z.

Teori Maslow dibangun atas beberapa asumsi inti Pertama, adanya pergerakan jenjang hierarkis, di mana individu bergerak ke tingkat kebutuhan yang lebih tinggi setelah kebutuhan di tingkat yang lebih rendah terpenuhi. Kedua, motivasi defisiensi, di mana invididu memiliki dorongan untuk memenuhi kebutuhan pada tingkat saat ini berada, agar bisa naik ke tingkat kebutuhan yang lebih tinggi, jika kebutuhan yang lebih rendah sudah terpenuhi.

Ketiga, motivasi pertumbuhan, di mana aktualisasi diri dipandang sebagai suatu proses perjalanan yang berkelanjutan untuk menjadi menjadi diri yang sepenuhnya.

Memperkenalkan Generasi Z: Karakteristik dan Konteks

Generasi Z didefinisikan sebagai kelompok generasi yang lahir antara 1997 dan 2012. Mereka generasi sedang memasuki fase penting dalam kehidupannya, dengan peningkatan karier, peningkatan angka pernikahan dan memiliki anak, dengan pola kehidupan yang sangat dipengaruhi oleh lingkup digital dan tempat dimana generasi Z bekerja.

Dengan kata lain, karakteristik utama generasi Z dibentuk oleh lingkup digital tempat mereka tumbuh.

Sebagai digital natives, mereka sangat terhubung dan nyaman dengan digital teknologi. Konektivitas digital adalah kebutuhan mendasar bagi mereka. Salah satu karakteristik Generasi Z, adalah memiliki kesadaran yang tinggi terhadap isu kesehatan mental, rentan terhadap kecemasan dan stres, terutama yang berasal dari media social. (Casey Foundation, 2020.).

Kesejahteraan mental dan kesehatan mental serta keamanan psikologis menjadi prioritas utama, generasi Z juga menghargai keseimbangan antara pekerjaan dan kehidupan pribadi dan mencari pekerjaan yang selaras dengan nilai dan tujuan pribadi mereka, serta menawarkan fleksibilitas.

Dalam hal keuangan, mereka cenderung pragmatis, fokus pada menabung dan berinvestasi, tetapi juga menghargai pengalaman seperti perjalanan sebagai salah satu alat aktualisasi diri.

Keinginan untuk memiliki tujuan dan aktualisasi diri juga sangat kuat, mendorong mereka untuk mencari keterlibatan yang dapat mengatulisasi diri dalam pekerjaan dan isu-isu global.

Terakhir, keberagaman dan inklusi merupakan nilai-nilai penting bagi generasi Z, dan mereka mengharapkan inklusivitas di semua lingkungan, baik di tempat kerja maupun di dunia digital.

Penggunaan media sosial yang intens memiliki dampak signifikan pada Generasi Z. Meskipun menawarkan aspek positif seperti konektivitas, ekspresi diri, dan dukungan kesehatan mental, media sosial juga dapat menimbulkan budaya perbandingan, stres, dan FOMO (McKinsey, 2021).

Perbandingan sosial yang diperburuk oleh konten daring tanpa kurasi yang memadai dapat menyebabkan perasaan tidak nyaman dan berdampak negatif pada harga diri dan kesehatan mental.

Fenomena Fear of Missing Out (FOMO), yaitu rasa takut ketinggalan tren, berita, atau kesempatan menarik, sangat lazim di kalangan Generasi Z. FOMO seringkali diperburuk oleh media sosial dan dapat dikaitkan dengan kesehatan mental, berupa kecemasan, harga diri rendah (minder), dan keinginan untuk terhubung dan mendapatkan validasi digital sosial.

Fenomena ini dapat mendorong perilaku generasi Z terlihat diluar akal sehat, norma dan etika untuk mengejar kompensasi dan memengaruhi keputusan yang diambil.

Disrupsi yang Dirasakan: Generasi Z dan Pencarian Aktualisasi Diri

Premis yang sering diajukan adalah bahwa Generasi Z menunjukkan kecenderungan untuk memprioritaskan aktualisasi diri, seperti mencari aktualisasi diri, mengekspresikan identitas, dan terlibat dalam aktivisme sosial, pada usia yang masih muda.

Mereka menunjukkan fokus pada pekerjaan yang dapat memberikan aktualisasi diri, berkeinginan untuk dapat memberikan dampak positif, dan penekanan pada ekspresi diri dan nilai-nilai pribadi. Hal ini berbeda dengan teori Maslow, yang menyatakan bahwa aktualisasi diri biasanya dikejar setelah kebutuhan tingkat yang lebih rendah terpenuhi.

Beberapa faktor dapat menjelaskan disrupsi yang dirasakan ini. Akses informasi dan keterhubungan global yang instan melalui teknologi digital memungkinkan Generasi Z untuk lebih cepat menyadari isu-isu global dan terhubung dengan individu yang memiliki minat yang sama, sehingga mendorong keinginan untuk berkontribusi dan menemukan tujuan hidup lebih awal.

Pengaruh media sosial dan budaya daring yang juga memberikan wadah untuk mengekspresikan diri, mengeksplorasi identitas diri, dan membangun kehadiran daring, yang berpotensi membuat aspek-aspek aktualisasi diri ini lebih mudah diakses dan diinginkan.

Selain itu, penekanan pada kesehatan mental dan kesejahteraan mental yang lebih besar dapat mendorong Generasi Z untuk memprioritaskan aktivitas dan tujuan yang berkontribusi pada kesejahteraan psikologis dan rasa harga diri mereka, yang selaras dengan aspek-aspek aktualisasi diri.

Terakhir, ada argumen bahwa Generasi Z, terutama di negara-negara maju, mungkin memiliki kebutuhan fisiologis dan rasa aman yang sudah dapat terpenuhi lebih awal dan lebih cepat dibandingkan generasi sebelumnya, sehingga mereka dapat lebih awal langsung untuk fokus pada kebutuhan tingkat yang lebih tinggi.

Analisis Disrupsi Melalui Teori Kesejahteraan

A. Teori Penentuan Diri (Self-Determination Theory – SDT)

Teori Penentuan Diri berfokus pada tiga hal, pertama motivasi intrinsik dan kebutuhan psikologis mendasar akan otonomi (merasa memegang kendali). Kedua, kompetensi (merasa mampu), dan ketiga, keterhubungan (merasa terhubung dengan orang lain) (Ryan & Deci, 2000). Keinginan Generasi Z untuk aktualisasi diri selaras dengan kebutuhan intrinsik akan otonomi dan kompetensi.

Pencarian pekerjaan yang selaras dengan nilai dan tujuan pribadi mereka serta menawarkan fleksibilitas, dapat dilihat sebagai upaya untuk memenuhi kebutuhan ini, bahkan sebelum mencapai tolok ukur kesuksesan atau keamanan yang menjadi standar kebutuhan tradisional.

Lingkungan digital memiliki peran ganda dalam kaitannya dengan perubahan atau percepatan pencapaian kebutuhan aktualisasi diri. Di satu sisi, platform daring dapat menawarkan ruang untuk otonomi (pilihan dalam konten dan interaksi), kompetensi (pengembangan keterampilan melalui kursus dan komunitas daring), dan keterhubungan (berinteraksi dengan individu yang memiliki minat yang sama).

Akan tetapi di sisi lain, sifat konten daring tanpa kurasi yang tepat dan adanya tekanan perbandingan sosial dapat merusak perasaan kompetensi dan otonomi, yang berpotensi menyebabkan kecemasan dan penurunan kesejahteraan dan kesehatan mental.

FOMO juga dapat muncul dari kebutuhan akan keterhubungan dan rasa memiliki yang tidak terpenuhi, mendorong perilaku yang mungkin tidak secara tulus meningkatkan kesejahteraan.

B. Model Kesejahteraan Psikologis Carol Ryff

Model Kesejahteraan Psikologis Carol Ryff terdiri dari enam dimensi: penerimaan diri, hubungan positif dengan orang lain, otonomi, penguasaan lingkungan, tujuan hidup, dan pertumbuhan pribadi (Ryff Scales, 2004).

Fokus Generasi Z pada ekspresi diri, tujuan, dan nilai-nilai pribadi secara langsung selaras dengan dimensi “tujuan hidup” dan “pertumbuhan pribadi” dalam model Ryff. Kesadaran mereka terhadap kesehatan mental juga terhubung dengan penerimaan diri.

Pengalaman Generasi Z dalam mencapai kesejahteraan di berbagai bidang ini dipengaruhi oleh era digital. Tekanan media sosial dan budaya perbandingan dapat berdampak negatif pada penerimaan diri. Namun, destigmatisasi kesehatan mental dapat mendorong kesadaran dan penerimaan diri yang lebih besar.

Konektivitas digital menawarkan peluang untuk membangun hubungan positif, tetapi juga dapat menyebabkan perasaan kesepian dan terisolasi.

Generasi Z menghargai otonomi dan kemandirian. Dunia digital dapat memberdayakan pilihan individu dan menciptakan tekanan untuk menyesuaikan diri. Menavigasi kompleksitas dunia digital dan ketidakpastian ekonomi menghadirkan tantangan unik bagi penguasaan lingkungan digital.

Keinginan Generasi Z untuk pekerjaan yang dapat mengatualisasi diri dan berdampak sosial menunjukkan fokus yang kuat pada tujuan hidup generasi Z. Terakhir, fokus pada pembelajaran, pengembangan keterampilan, dan peningkatan diri terhadap perkembangan digital terlihat jelas pada Generasi Z. (srv)

Penulis :

IG Mahendra Kusumaputra
Mahasiswa Doktoral, Departemen Pembangunan Sosial dan Kesejahteraan FISIPOL UGM, Yogyakarta.

Referensi:

1. Maslow’s Final Theory Z – Agile Organization Development, https://agile-od.com/mmdojo/8287/maslows-final-theory-z
2. Expectations of Generation Z Youth and Their Families.docx – Anna Lindh Foundation, https://www.annalindhfoundation.org/sites/default/files/2024-09/Expectations%20of%20Generation%20Z%20Youth%20and%20Their%20Families.docx
3. Gen Z’s Unique Take on Maslow’s Hierarchy of Needs – Filtered Out, https://filteredout.co.uk/gen-zs-unique-take-on-maslows-hierarchy-of-needs/
4. Generation Z’s Mental Health Issues – The Annie E. Casey Foundation, https://www.aecf.org/blog/generation-z-and-mental-health
5. Reframing Maslow’s Hierarchy for the Gen Z Workforce: A New Pyramid for a New Generation | Vallabh Chitnis, https://www.vallabhchitnis.com/leadership/reframing-maslows-hierarchy-for-the-gen-z-workforce-a-new-pyramid-for-a-new-generation/
6. Understanding Factors Motivating Generation Z with Application of Maslow’s Theory of Motivation, ResearchGate, https://www.researchgate.net/publication/381286469_Understanding_Factors_Motivating_Generation_Z_with_Application_of_Maslow’s_Theory_of_Motivation
7. Psychological Well-Being among Generation Z employees: A Literature Review, https://www.researchgate.net/publication/383197982_Psychological_Well-Being_among_Generation_Z_employees_A_Literature_Review
8. Fear of Missing Out (FOMO): How is it related to mental health? – Brighter Life Therapy, https://brighterlifetherapy.co.uk/fear-of-missing-out-fomo-how-is-it-related-to-mental-health/
9. Self-Determination Theory and the Facilitation of Intrinsic Motivation, Social Development, and Well-Being, https://selfdeterminationtheory.org/SDT/documents/2000_RyanDeci_SDT.pdf
10. Carol Ryff’s Model of Psychological Well-Being – The Corner of Excellence, https://www.thecornerofexcellence.com/en/carol-ryff-model-of-psychological-well-being/

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Back to top button