Kura-Kura Berjenggut di Negeri Rempah

INDOPOSCO.ID – Balai Pelestarian Nilai Budaya (BPNB) Aceh memproduksi film bernilai sejarah dengan judul ‘Kura-Kura Berjenggut di Negeri Rempah’, dengan latar belakang abad 17 masa Kesultanan Aceh.
“Film ini dibuat untuk konten Indonesiana TV dalam rangka festival Bumi Rempah Nusantara untuk dunia 2021, serta akan tayang pada 22 Oktober 2021,” tutur Plt Kepala BPNB Aceh Nurmatias di Banda Aceh, Sabtu (18/9/2021).
Film tersebut diangkat dari sepenggal isi novel Kura- Kura Berjenggut yang ditulis sastrawan Aceh Azhari Aiyub yang diterbitkan pertama pada 2018.
Film berdurasi lebih kurang satu jam itu juga dimainkan oleh aktor dari ibu kota, yaitu seorang aktor nasional ternama Ine Febrianti, dan seniman lokal seperti Nazar Syah Alam Fozan Santa dan lainnya.
Nurmatias menyampaikan, kisah film tersebut dimulai dengan nuansa beberapa ribu lalu, ketika bangsa serta niaga belum ada.
Di mana, ujar Nurmatias, manusia saat itu sedang bertahan dalam persaingan, penyakit, serta kelaparan. Apabila lolos akan membuat manusia kala itu menjadi satu- satunya penguasa di bumi.
Nurmatias menjelaskan, dalam film itu nantinya juga diceritakan bagaimana pesaing utama manusia saat itu adalah kura-kura berjanggut, makhluk cerdas tetapi lambat yang percaya pada bumi bulat serta mengitari matahari.
Perseteruan antara manusia serta kura-kura berjanggut dipicu oleh biji neraka atau merica yang banyak tumbuh di dekat sebuah mata air.
“Manusia yang ingin memanfaatkan kelezatan serta manfaat biji neraka, mendapat tantangan keras dari kura-kura berjanggut yang menurutnya kegiatan itu akan membuat bumi berhenti berputar,” ucapnya dilansir Antara.
Sementara itu, Kurator Festival Bumi Rempah Nusantara Rama Soeprapto menjelaskan alur cerita film ini menuju ke abad 17 di Lamuri, Aceh, yaitu sebuah kesultanan yang terletak di kerongkongan Selat Malaka.
“Saat itu keadaannya baru saja babak belur dihajar banjir besar. Penyakit serta kelaparan adalah 2 imbas yang harus ditangani Sultan Nuruddin atau Anak Haram, penguasa negeri itu,” tutur Soeprapto.
Dalam kisahnya, lanjut Soeprapto, negeri itu sangat miskin dan sedang dikucilkan akibat perebutan kekuasaan beberapa tahun sebelumnya. Satu-satunya yang bisa diandalkan adalah merica. Konon, merica terbaik di dunia tumbuh di Lamuri, Aceh.
Tetapi, karena larangan serta blokade dagang merica- merica itu telah lama membusuk di gudang. Pada saat banjir besar, pedagang hantu menggunakan kesempatan ini untuk membeli langsung rempah- rempah di gudang anak haram.
Belakangan dengan uang yang didapat dari Pedagang Hantu serta harga merica yang menjulang di pasar dunia. Anak Haram ingin menguasai sendiri jalur perdagangan rempah. Hasratnya makin besar bersamaan dengan datangnya Ernem Misal, seorang duta besar Usmani.
“Jadi film ini menceritakan dan memperlihatkan unsur-unsur ke-Acehan, sesuatu yang tidak pernah terdengar dan terlihat lagi,” demikian Soeprapto. (mg2)