Ekonomi

Emas, Aset Klasik yang Kembali Jadi Primadona Gen Z

INDOPOSCO.ID – Fenomena antrean panjang di gerai-gerai penjualan logam mulia PT Antam belakangan ini menjadi pemandangan yang menarik. Dari kalangan ibu rumah tangga hingga anak muda milenial dan Gen Z, semua rela datang sejak subuh demi mendapatkan si kuning berkilau yang kini harganya kian melambung.

Menurut pemerhati investasi, Anggie Fitrani, tren ini bukan sekadar gaya hidup atau sensasi viral semata. “Emas merupakan aset safe haven, atau aset penyelamat yang mampu menjaga nilai kekayaan di tengah ketidakpastian ekonomi global,” ujar Anggie melalui gawai, Kamis (16/10/2025).

Fenomena Fear of Missing Out (FOMO) pun tak bisa dihindari. Di era digital yang serba cepat ini, apa pun yang viral akan segera diburu. “Mulai dari boneka Labubu hingga logam mulia PT Antam, semuanya menjadi incaran. Banyak orang rela antre sejak dini hari hanya untuk memastikan mereka tidak ketinggalan,” jelasnya.

Sejak ribuan tahun lalu, emas telah menjadi simbol kekayaan dan kekuasaan. Di Mesir Kuno (2600 SM), emas digunakan sebagai perhiasan, mata uang, dan simbol kekuasaan para firaun. Sementara dalam peradaban Inca dan Aztec (1000 SM – 1500 M), emas menjadi bagian penting dalam ritual keagamaan dan lambang kejayaan.

Tradisi serupa berlanjut di Romawi Kuno (100 SM – 500 M) dan Abad Pertengahan (500 – 1500 M), di mana emas digunakan sebagai mata uang dan simbol kemegahan kerajaan. Tak heran jika hingga kini, logam mulia itu tetap dipandang sebagai aset paling berharga dan stabil.

Kenaikan harga emas pun seolah menjadi cermin kondisi global. Mari menengok ke belakang: pada tahun 1990, harga emas hanya sekitar Rp 22.964 per gram. Tahun 2000, melonjak menjadi Rp 85.000 per gram, dan pada 2020 mencapai Rp 862.000 per gram. Kini, di penghujung 2025, harga emas hampir menembus Rp 3.000.000 per gram — sebuah rekor fantastis.

Namun, Anggie mengingatkan bahwa tren kenaikan ini bukan semata kabar gembira. “Ketika harga emas terus naik, biasanya kondisi dunia sedang tidak baik-baik saja. Emas menjadi pelarian ketika masyarakat kehilangan kepercayaan terhadap sistem keuangan atau khawatir akan krisis,” tutur mahasiswi Pascasarjana Ilmu Komunikasi Stikom Interstudi Jakarta itu.

Fenomena trust issue terhadap perbankan dan kondisi ekonomi turut memperkuat gelombang investasi emas. Banyak masyarakat mencairkan tabungan atau deposito untuk dialihkan ke emas, terutama logam mulia produksi Antam yang tengah naik daun.

Selain bentuknya yang elegan, adanya barcode keaslian membuat logam mulia ini semakin diminati. “Konsumen kini lebih percaya diri karena bisa memverifikasi langsung keaslian produk mereka. Hal ini membuat emas bukan hanya aset investasi, tapi juga bagian dari lifestyle baru,” jelas Anggie.

Emas selalu memiliki daya tarik yang sulit ditolak — baik sebagai simbol status, alat investasi, maupun pelindung nilai kekayaan. Di tengah derasnya arus informasi dan tren digital, logam mulia ini tetap bersinar sebagai pilihan rasional dan emosional.

Dan seperti kata Anggie Fitrani, “Emas mungkin kecil bentuknya, tapi nilainya besar, bukan hanya dalam angka, tapi juga dalam rasa aman yang diberikannya.” (her)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Back to top button