Ekonomi

Program Bioetanol Selaras dengan Asta Cita, Perlu Regulasi yang Holistik

INDOPOSCO.ID – Program bioetanol untuk bahan bakar kendaraan perlu disambut baik, karena bahan bakar nabati (BBN) menjadi solusi efektif untuk dekarbonisasi di sektor transportasi.

Direktur Perencanaan Strategis dan Pengembangan Bisnis PT Pertamina New & Renewable Energy (Pertamina NRE) Fadli Rahman mengatakan, kesuksesan implementasi program biodiesel di Indonesia bisa menjadi contoh program bioetanol.

“Tidak saja menurunkan emisi gas rumah kaca (GRK), program bioetanol juga berpotensi menurunkan impor BBM, karena sebagian diganti dengan bioetanol,” ujar Fadil dalam keterangannya, di Jakarta, Kamis (5/12/2024).

Menurutnya, program bioetanol ini selaras dengan Asta Cita pemerintahan Presiden Prabowo, khususnya terkait swasembada pangan dan energi, serta menciptakan lingkungan yang berkelanjutan.

Sesuai dengan peta jalan bioetanol pemerintah yang tertuang dalam Perpres Nomor 40 Tahun 2023, target penyediaan bioetanol nasional mencapai 1,2 juta kiloliter (KL) per tahun pada tahun 2030.

Sementara, tingkat kapasitas produksi bioetanol fuel grade saat ini baru mencapai 63 ribu KL per tahun, sehingga terdapat gap supply dan demand yang akan semakin besar seiring dengan meningkatnya proyeksi penggunaan bahan bakar minyak (BBM) dengan campuran bioetanol.

“Saat ini, bioetanol sebesar 5 persen telah menjadi campuran Pertamax Green 95 yang diluncurkan tahun lalu oleh PT Pertamina Patra Niaga dan telah tersedia di 101 SPBU (Stasiun Pengisian Bahan Bakar Umum) di Jabodetabek (Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, Bekasi) dan Surabaya,” jelas Fadil.

Pemanfaatan bioetanol untuk bahan bakar kendaraan juga akan mendorong optimalisasi sumber energi domestik, di mana Indonesia memiliki potensi yang cukup besar. Tak saja dari molase yang merupakan produk sampingan gula, bioetanol dapat berasal dari singkong, jagung dan sorgum.

Terlepas dari potensi itu, terdapat sejumlah tantangan dalam pengembangan bioetanol. Salah satunya yaitu persaingan pemanfaatan bioetanol untuk pangan, industri dan bahan bakar.

Penawaran dari industri pangan dan industri lain untuk molase, ditambah potensi ekspor yang menarik di kancah internasional, menjadikan ketersediaan pasokan bahan baku utama di dalam negeri menjadi lebih terbatas,ehingga, harga bioetanol menjadi lebih tinggi dibandingkan harga BBM karena kompetisi bahan baku.

“Ini tentunya akan berpengaruh pada harga jual ke konsumen apabila tidak ada insentif,” kata Fadil.

Secara keseluruhan, diperlukan regulasi yang holistik dari hulu ke hilir untuk pengembangan bioetanol untuk bahan bakar kendaraan, termasuk regulasi menjadikan bioetanol untuk bahan bakar kendaraan sebagai mandat, seperti halnya yang diimplementasikan terhadap program biodiesel. (arm)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Back to top button