COP28 dan Keberlanjutan Transisi Energi

Presiden Joko Widodo saat COP26 di Glasgow akhir tahun 2021, mengingatkan kembali soal komitmen pendanaan global sebesar USD100 miliar. Kemudian Wakil Presiden Ma’ruf Amin saat berbicara di podium COP27, kembali menyinggung komitmen negara-negara maju tersebut, yang sejatinya sudah disepakati sejak COP21 di Paris (2015).
Kolaborasi regional
Melalui akselerasi program transisi energi, Indonesia secara mandiri sudah melakukan ikhtiar konkret menahan kenaikan suhu Bumi di bawah 1,5 derajat celsius. Sejak lama pemangku kepentingan berpandangan, dengan berbasis data dan sains, bahwa transisi energi merupakan salah satu langkah mengatasi krisis iklim. Berdasar sains pula, kenaikan suhu Bumi saat ini sudah di atas 1 derajat celsius. Artinya, bila kita tidak melakukan aksi nyata sekarang, kenaikan suhu Bumi bisa lebih cepat, dengan efek bencana hidrometerologi yang lebih parah.
Kemandirian Indonesia dalam aksi iklim dan transisi energi juga terlihat dalam skema pendanaan yang terkonsolidasi saat Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) G20 di Bali, pertengahan November tahun lalu. Program strategis pemerintah dalam pengakhiran dini (early retirement) PLTU berbasis batubara, mendapat pendanaan sebesar USD20 miliar, melalui platform Just Energy Transition Partnership (JETP), yang dimotori Amerika Serikat dan Jepang.
Pada level regional, Indonesia mendorong kolaborasi memperluas produksi listrik berbasis energi terbarukan multilateral di kawasan, guna meningkatkan kapasitas dalam menyerap energi terbarukan melalui jaringan listrik (power grid) ASEAN. Indonesia bisa menjadi faktor katalis dalam isu transisi energi, melalui implementasi skala besar penggantian bahan bakar berbasis fosil menuju energi hijau dan terbarukan.
Dalam posisi Keketuaan ASEAN pula, Indonesia juga bisa menjadi mediator, mengingat persoalan setiap negara anggota ASEAN memiliki hambatan dan kebutuhan berbeda dalam transformasi sistem energi. Dalam posisi sebagai Keketuaan ASEAN pula, Indonesia terus mendorong komitmen ASEAN dalam menerapkan prinsip ekonomi hijau.
Berdasarkan asumsi, di masa depan, penerapan ekonomi hijau dapat menjadi faktor daya saing yang kuat. Ekonomi yang memperhatikan kelestarian lingkungan tercermin dari pemanfaatan energi hijau, bahwa semakin cepat suatu negara menciptakan inovasi-inovasi yang menyertai energi hijau tersebut, keunggulan kompetitif pun akan semakin cepat diraih.
Komitmen sepuluh negara anggota ASEAN untuk mencapai emisi nol bersih pada tahun 2050, terbilang ambisius sekaligus terukur. Sementara hanya Filipina yang belum berkomitmen mencapai nol bersih pada tahun 2050, sedangkan Indonesia telah menetapkan target pada tahun 2060. Target dan perkiraan yang mungkin saja berbeda tiap negara, sebagai penanda bahwa praktik mencapai nol bersih bukan jalan mudah.
Negara-negara ASEAN telah sepakat untuk meningkatkan kontribusi energi terbarukan menjadi 23 persen pada tahun 2025 dan bergerak menuju masa depan rendah karbon. Untuk mencapai tujuan tersebut, ASEAN akan menghadapi tantangan besar yakni pembiayaan investasi yang signifikan untuk beralih dari energi berbasis bahan bakar fosil ke energi terbarukan. Komunitas internasional dan mitra utama akan berperan penting dalam mendukung ASEAN untuk mempercepat misi transisi energi rendah karbon, melalui peningkatan penyediaan pembiayaan iklim dan fasilitasi transfer teknologi rendah karbon.
Berdasarkan kajian IRENA, ASEAN membutuhkan pembiayaan besar untuk program transisi energi. Untuk mencapai 100 persen energi terbarukan tahun 2050, dibutuhkan dana sekitar 29,4 triliun US dollar. Untuk itu diperlukan dukungan pendanaan dari negara maju dan institusi finansial global seperti Just Energy Transition Partnership (JETP), Asia Zero Emission Community (AZEC), ADB (Asian Development Bank), dan seterusnya.
Salah satu skema pendanaan yang sudah berjalan adalah platform Energy Transition Mechanism (ETM), yang diharapkan bisa menjadi model pensiun dini (early retirement) PLTU kawasan Asia Tenggara. ETM mendapat dukungan penuh Bank Pembangunan Asia (ADB), yang bekerja sama dengan mitra regional dan internasional.
Model kemitraan ETM adalah yang pertama untuk kawasan Asia-Pasifik, bertujuan mempercepat transisi energi bersih di Asia Tenggara. Kemitraan ini didukung oleh pejabat tingkat kabinet senior dari Denmark, Inggris, dan Amerika Serikat, serta lembaga keuangan dan filantropi global terkemuka. ETM diharapkan bisa menjadi model di kawasan lain untuk peta jalan menuju target nol emisi. Di masa datang, ADB berkomitmen mendukung upaya transisi energi kawasan Asia-Pasifik.
Bergulirnya platform ETM di Indonesia, Filipina, dan (termasuk) Vietnam, bertujuan mempercepat pensiun 50 persen PLTU, yaitu sekitar 30 gigawatt, selama 10 hingga 15 tahun ke depan. Kemudian dapat mereduksi 200 juta ton karbon dioksida emisi per tahun, setara dengan mengeluarkan 61 juta mobil dari jalan raya. Seiring pertumbuhannya, ETM berpotensi menjadi program pengurangan karbon terbesar di dunia.
Merujuk pengalaman Indonesia sendiri, ETM adalah skema kerja sama yang ditawarkan pemerintah Indonesia untuk berbagai pihak bisa terlibat untuk proyek energi bersih di Indonesia. ETM dibentuk untuk bisa memberikan ruang transparansi bagi para investor, lembaga donor internasional maupun sektor swasta terhadap proyek energi bersih di Indonesia. (*)