Disway

Senior Chris

Oleh: Dahlan Iskan

INDOPOSCO.ID – Sudah 10 hari saya tidak menerima WA (WhatsApp) dari senior saya itu: Christianto Wibisono. Tumben. Biasanya hampir tiap hari beliau mengirimi saya info. Apa saja. Ekonomi, politik, agama, isi Disway pagi itu, dan –ini yang saya baru tahu– soal usulnya ke Gubernur Ali Sadikin agar membuka judi.

Pak Chris, begitu saya memanggil Christianto Wibisono, meninggal pada Rabu (21/7/2021). Ia senior saya di majalah Tempo. Ia ikut mendirikan majalah itu pada 1971. Waktu saya masih berstatus magang tiga bulan (1975), namanya masih tercantum sebagai salah seorang direktur di majalah itu. Praktis Tempo saat itu didominasi orang Pantura (Pantai Utara Jawa): Harjoko Trisnadi orang Semarang, Chris orang Semarang, Goenawan Mohamad orang Batang, Fikri Jufri orang Pekalongan. Dirutnya yang orang Manado: Eric Samola. Baru Pak Eric dan Chris yang meninggal.

Berita Terkait

Tapi saya tidak pernah melihat Pak Chris di kantor. Saya tidak pernah bertemu. Saya juga tidak pernah bertemu Goenawan Mohamad. Selama tiga bulan itu saya ingin sekali melihat Goenawan Mohamad itu seperti apa. Ia saya dewakan waktu itu. Yang aktif memimpin Tempo saat itu sastrawan Bur Rasuanto –orang Rasuan, Sumatera Selatan, yang nama aslinya Burhanuddin. Bur-lah mentor magang saya.

Kelak, tiga tahun kemudian saya baru bertemu Goenawan Mohamad. Bahkan ia-lah yang mengedit tulisan panjang saya, laporan utama soal tenggelamnya kapal Tampomas, –dengan pujian. Lalu saya pernah diminta mengedit tulisan seorang Redaktur Pelaksana (Redpel) Tempo secara sembunyi-sembunyi. Agar sang redpel tidak tersinggung. Sampai di situ saya belum juga tahu yang mana itu Christianto Wibisono. Beliau rupanya sudah tidak aktif sejak 1973 –berarti hanya dua tahun di Tempo.

Pak Chris sebenarnya lahir di Jakarta –tiga bulan sebelum Proklamasi kemerdekaan Indonesia. Tapi ia selalu mengatakan dirinya orang Semarang, Jawa Tengah.

Ketika masih kecil, dengan nama Oey Koan Kok (黄建国, Huang Jiang Guo), Pak Chris sudah dibawa pindah ke Semarang. Sekolah di Semarang. Sampai tamat SMAK Kolese Loyola di kota itu.

Tamat SMA ia ke Jakarta. Untuk kuliah di Fakultas Hukum dan Kemasyarakatan Universitas Indonesia (UI). Namun belum setahun jadi mahasiswa UI terjadilah pergolakan 1965. Mahasiswa UI menjadi pahlawan besar dan kiblat gerakan mahasiswa seluruh Indonesia. Rektor UI saat itu, Prof Dr Ir R. M. Soemantri Brodjonegoro menjadi simbol pengayom gerakan mahasiswa –jauh sebelum jabatan itu jadi bahan ejekan luar biasa di akhir Juli 2021.

Pak Chris aktif di gerakan mahasiswa itu. Ia menjadi wartawan Harian Kami –corong gerakan mahasiswa saat itu. Koran itu dipimpin Nono Anwar Makarim –ayah Mendikbudristek (Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Riset dan Teknologi) sekarang, Nadiem Makarim.

Bakat Pak Chris di bidang tulis-menulis sudah unggul sejak di SMA. Keasyikannya sebagai wartawan pergerakan membuat kuliahnya tidak terurus.

Apalagi ia kemudian ikut mendirikan Majalah Tempo. Setelah tidak di Tempo lagi Pak Chris kembali kuliah di UI. Di Fisip (Fakultas Ilmu Sosial dan Politik). Sampai tamat pada 1978.

Pada 13 Juli 2021, ia masih kirim WA ke saya: hoax mengenai orang yang divaksin yang akan meninggal dua tahun kemudian. Saya tidak berkomentar karena masih mengecek kebenarannya. Seminggu kemudian barulah saya dapat kepastian –dari India Today– bahwa itu hoax. Sang penerima hadiah Nobel tidak pernah mengatakan itu.

WA-nya yang sangat menarik dikirim ke saya pada 2 Juli 2021. Saya sertakan saja di sini sesuai dengan aslinya:

“Saya wartawan itu hobby merangkap profesi. Jadi tidak kenal pensiun. Karena gemar membaca dan menulis sejak SD lalu konkret jadi wartawan menulis apa yang langsung jadi kebijakan konkret.

Pada 1967 saya usul pembukaan casino utk dana pembangunan SD. Kalau tidak, 600ribu anak usia sekolah telantar. Langsung dilaksanakan oleh Gub Ali Sadikin. Saya, yang menulis di Harian KAMI, justru dapat hadiah skuter Lambretta, satu pribadi dan satu utk harian KAMI pimpinan Nono Makarim.

Jadi joke saya, lho ini saya anak buah, karyawan malah setor upeti skuter sama bos. Saya umur 22 waktu itu, mulai jadi wartwan Harian KAMI 1966. Seandainya saya minta saham casino waktu itu, maka tidak akan di Tempo dan PDBI krn CW langsung sudah jadi konglomerat 1967 ha3x”.

PDBI adalah singkatan Pusat Data Bisnis Indonesia. Pak Chris mendirikan lembaga riset dan konsultasi dengan nama itu. Itulah bisnis Pak Chris. Yang masih di lingkungan jurnalisme dan intelektual.

Pak Chris dikenal kritis pada dunia usaha dan pada siapa saja. Praktik konglomerasi di Indonesia sering menjadi bahasan PDBI. Lengkap dengan pemetaan pemiliknya. Dan gurita bisnisnya.

Itulah sebabnya Pak Chris kurang disukai konglomerat tertentu. Pada 1998, ketika terjadi pergolakan politik lagi di Jakarta, Pak Chris sangat terpukul. Putri tunggalnya menjadi salah satu korban kekerasan wanita pada Mei 1998.

Pak Chris langsung membawa putrinya ke Amerika. Menenangkan diri di sana. Berobat di sana. Menyembuhkan trauma di sana. Lama sekali Pak Chris menetap di Amerika. Bertahun-tahun. Hatinya sangat terluka. Sangat. Sampai sang putri, awalnya, begitu membenci Indonesia.

Sebenarnya Presiden Gus Dur –kala itu– menawarinya pulang. Ia akan dijadikan Menko Perekonomian. Tapi Pak Chris memilih mendampingi sang putri di Amerika. Ia mencoba usaha kuliner di sana. Kurang berhasil.

Ia baru pulang setelah sang putri pulih. Ia melihat kenyataan perlakuan kepada Tionghoa sudah seperti layaknya warga negara lainnya. Tiba di Jakarta ia hidupkan kembali PDBI. Tapi zaman kebebasan sudah tiba. Data menjadi sangat terbuka. Tidak sama lagi dengan ketika PDBI dibangun. Waktu itu data yang dirilis PDBI selalu mengejutkan –Pak Chris bisa mendapat data dengan caranya sendiri.

Karya tulis yang legendaris dari Pak Chris adalah ”wawancara imajiner dengan Bung Karno”. Ia minta tanggapan almarhum Bung Karno mengenai kejadian-kejadian aktual di masa pemerintahan Presiden Soeharto sampai 1978. Itulah taktik Chris untuk menyindir pemerintahan Soeharto. Buku itu sensitif sekali. Laris sekali. Sampai dilarang dibaca dan diedarkan –bersamaan dengan pemberedelan tujuh koran saat itu.

Akhirnya saya sering bertemu Pak Chris: di Istana Negara. Di zaman Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). Yakni ketika beliau menjadi anggota Wantimpres atau Anggota Komite Ekonomi Nasional (KEN).

Setelah itu pun saya masih sering bertemu. Di kantor Pak Chairul Tanjung –diskusi rutin soal ekonomi terkini. Sebelum Covid-19.

Selama Covid-19, praktis hubungan kami hanya lewat telepon atau WA. Ia sering curhat soal berita di Tempo. Ia juga sering mem-forward pembicaraan politiknya dengan para politisi.

Pada 24 Juni 2021, Pak Chris masih kirim WA soal tokoh-tokoh PDI Perjuangan yang berpotensi jadi calon presiden (capres). Berikut kombinasi pasangan calon wakil presiden (cawapres)-nya.

“Pasangan Puan-Anies sulit dilawan calon mana pun,” tulisnya. “Seluruh partai akan di belakangnya. Kecuali separo Golkar yang masih dipegang LBP,” tambahnya.

Tapi Pak Chris juga meneruskan pembicaraan itu. “Kalau Puan-Anies menang memang akan banyak oposan dari Indonesia Timur”. Itu terkait dengan khilafah.

Saya hanya berkomentar pendek. “Anies itu kan lulusan Chicago. Juga Rektor Paramadina yang Islamnya begitu sekuler. Kok masih diasosiasikan dengan khilafah ya?” tulis saya.

Ia tidak langsung menanggapi. Ia tahu persis siapa Anies. Ia mengirim kesimpulan:

“PDIP punya 4 paket. Yang mana mau digunakan, hak prerogatif ketua umum. Kita lihat sampai jelang deadline di 2023. Sekarang baru arena pemanasan, adu gagasan, ruang imajinasi-komunikasi, dan curah harapan. Menghibur tp tdk menentukan…”.

Pak Chris begitu ingin melihat apa yang akan terjadi pada 2023. Saya akan mengabari beliau pada saatnya nanti… (*)

Back to top button