INDOPOSCO.ID – Di tengah euforia energi hijau, Indonesia ternyata masih membutuhkan satu “penjaga pintu” agar sistem kelistrikan tetap menyala tanpa gangguan. Gas alam, meski kerap dipandang sebagai energi lama, justru diposisikan sebagai solusi realistis dalam perjalanan menuju sistem energi rendah karbon.
Pandangan itu disampaikan Manager New and Renewable Energy (Pertamina NRE) Chandra Asmara. Ia menilai, keterbatasan energi terbarukan, baik dari sisi kapasitas maupun keandalan, membuat gas alam masih relevan sebagai jembatan transisi energi nasional.
Menurutnya, pembangkit listrik berbasis gas menawarkan kompromi yang masuk akal: emisi lebih rendah dibandingkan batu bara, namun tetap mampu menopang kebutuhan listrik nasional secara stabil. Teknologi combined cycle gas turbine menjadi salah satu contoh nyata bagaimana gas dapat menekan jejak karbon sektor ketenagalistrikan.
“Emisi CCGT berada di kisaran 350–550 gram CO₂ per kilowatt jam, atau sekitar 50–70 persen lebih rendah dibandingkan PLTU batu bara yang rata-rata menghasilkan lebih dari 1.000 gram CO₂ per kilowatt jam,” ujar Chandra dalam acara ‘EITS Discussion Series VII 2025: “Pemantik Bisnis Sektor ESDM 2026, Dari Hilirisasi Hingga Transisi’ di Jakarta, Senin (15/12/2025).
Namun keunggulan gas tidak berhenti pada angka emisi. Chandra menekankan aspek fleksibilitas operasional yang menjadi nilai tambah utama pembangkit gas. Kemampuan fast ramping membuat pembangkit gas dapat dengan cepat menyesuaikan pasokan listrik, terutama saat produksi energi surya dan angin naik-turun mengikuti cuaca.
“Faktor ini menjadikan gas sebagai penopang utama keandalan sistem kelistrikan selama periode transisi energi,” ungkapnya.
Di sisi bisnis, Pertamina NRE pun tidak tinggal diam. Perusahaan pelat merah ini tengah memperkuat portofolio gas to power sebagai bagian dari strategi pertumbuhan ganda: menjaga ketahanan energi nasional sekaligus memperluas bisnis rendah karbon.
“Salah satu proyek utamanya adalah Jawa Satu Power berkapasitas 1.760 megawatt yang terintegrasi dengan fasilitas floating storage regasification unit (FSRU) di Jawa Barat, serta sejumlah proyek pembangkit gas untuk kebutuhan industri dan captive power,” terangnya.
Meski demikian, Chandra mengingatkan bahwa gas tidak boleh menjadi ketergantungan jangka panjang. Tanpa arah kebijakan dekarbonisasi yang tegas, gas justru berisiko menghambat target Net Zero Emission 2060.
Ia menegaskan, adopsi teknologi seperti carbon capture, utilization and storage, hidrogen biru, serta biometana harus dipercepat agar gas benar-benar berfungsi sebagai energi transisi, bukan sekadar menunda peralihan ke energi bersih sepenuhnya.
Di tengah tarik-menarik antara keandalan dan keberlanjutan, gas alam tampaknya masih akan berdiri di garis depan, bukan sebagai tujuan akhir, melainkan sebagai penopang agar langkah Indonesia menuju masa depan energi tetap stabil dan terarah. (her)









