INDOPOSCO.ID – Di tengah harapan publik agar pemerintah memperkuat kebijakan kesehatan nasional, keputusan Menteri Keuangan (Menkeu) Purbaya Yudhi Sadewa kembali memantik gelombang kritik. Penundaan pengenaan cukai pada Minuman Berpemanis Dalam Kemasan (MBDK) yang sedianya berlaku 2026 menjadi sorotan tajam, terutama karena kebijakan ini bukan pertama kalinya ditunda.
Suara paling lantang datang dari Pegiat Perlindungan Konsumen sekaligus Ketua Forum Konsumen Berdaya Indonesia (FKBI), Tulus Abadi, yang menyebut langkah Purbaya sebagai “blunder kebijakan kesehatan publik yang semakin sulit dibenarkan.”
Menurut Tulus, penundaan ini justru akan memperlebar pintu bagi anak dan remaja mengonsumsi minuman manis dengan lebih mudah.
“Saat ini lebih dari 25 persen anak di Indonesia minum MBDK setiap hari. Harganya murah, aksesnya sangat mudah. Dengan penundaan cukai, situasi ini hanya akan makin parah,” ujar Tulus melalui gawai, Rabu (10/12/2025).
Tulus mengingatkan, konsumsi tinggi MBDK merupakan awal dari banyak masalah kesehatan masa depan, seperti kegemukan, obesitas, hingga peningkatan risiko diabetes di usia belia.
Lonjakan konsumsi pada kelompok dewasa juga tidak kalah merisaukan. “Dalam sepuluh tahun terakhir, konsumsi MBDK pada orang dewasa melonjak 14 kali lipat. Ini tidak bisa dibiarkan,” tegasnya.
Ia menekankan bahwa pola konsumsi yang dibiarkan tanpa intervensi fiskal akan mempercepat peningkatan penyakit degeneratif seperti jantung koroner, kanker, darah tinggi, stroke, hingga diabetes melitus.
Tulus juga menyoroti dugaan kuatnya tekanan dari industri MBDK terhadap pemerintah. Ia menilai keputusan penundaan ini menunjukkan keberpihakan yang keliru.
“Menkeu seperti menukar kesehatan anak-anak dan kesehatan publik dengan kepentingan ekonomi industri. Padahal penerapan cukai tidak akan meruntuhkan industri MBDK,” tuturnya.
Lebih jauh, Tulus menilai kebijakan ini tidak hanya bermasalah dari sisi kesehatan, tetapi juga dari sisi hukum.
“Penundaan cukai MBDK melanggar mandat UU Kesehatan, PP Kesehatan, sampai UU APBN 2025 yang sudah menetapkan target penerimaan cukai MBDK sebesar Rp7 triliun,” tandasnya.
Ia menambahkan bahwa penundaan ini berpotensi mengacaukan mimpi besar Indonesia dalam membangun generasi emas. Konsumsi gula berlebih yang tidak ditekan sejak dini, menurutnya, akan menciptakan generasi dengan beban kesehatan berat.
Dengan sederet catatan tersebut, Tulus mendesak Presiden Prabowo Subianto untuk turun tangan dan membatalkan kebijakan penundaan tersebut. Ia menilai pemerintah justru membutuhkan tambahan penerimaan untuk menanggulangi berbagai bencana ekologis yang kini melanda banyak wilayah.
“Oleh sebab itu, sangat mendesak bagi Presiden Prabowo untuk membatalkan kebijakan Menkeu yang menunda cukai MBDK, dan juga cukai rokok. Apalagi di saat pemerintah memerlukan banyak biaya untuk recovery bencana ekologis di Sumatera, dan daerah lain di Indonesia,” tambahnya.
Di tengah upaya Indonesia menjaga masa depan kesehatan warganya, keputusan soal cukai MBDK menjadi penentu arah, apakah negara memilih keberanian untuk mengendalikan risiko, atau mengalah pada kenyamanan jangka pendek.
Karena pada akhirnya, kebijakan kesehatan bukan sekadar angka di lembar anggaran, melainkan cerita tentang masa depan generasi yang akan mewarisi negeri ini. (her)









