INDOPOSCO.ID – Di tengah perubahan cepat lanskap politik nasional, berbagai analisis mulai bermunculan tentang arah Indonesia dalam beberapa tahun mendatang. Salah satu suara yang paling mencuri perhatian datang dari analis komunikasi politik Hendri Satrio, yang memandang tahun 2026 sebagai fase krusial yang akan menentukan warna perjalanan demokrasi Indonesia.
Melalui pandangannya, Hendri menilai bahwa arah dan stabilitas politik tidak akan terlepas dari dua pilar besar, yaitu stabilitas ekonomi dan konsistensi penegakan hukum. Dua ranah inilah yang menurutnya akan menjadi fondasi utama apakah politik nasional akan berjalan teduh atau justru memasuki fase turbulensi yang sulit diprediksi.
“Saya memprediksi bahwa perpolitikan di 2026 itu masih sangat bergantung pada kondisi ekonomi dan penegakan hukum kita kelak,” kata Hensa -sapaan Hendri Satrio- melalui gawai, Selasa (9/12/2025).
Lebih jauh, Hensa menerangkan bahwa ada sejumlah faktor yang saling terkait dan berpotensi membuat suhu politik tetap panas. Ia menyoroti ketidakpastian politik yang terus berputar, mulai dari wacana pemilihan kepala daerah (Pilkada) tidak langsung oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD), gagasan koalisi permanen yang diinisiasi Partai Golongan Karya (Golkar), hingga dinamika hubungan Prabowo–Gibran yang selalu menjadi pembicaraan publik.
Tak hanya itu, polemik mengenai legitimasi ijazah yang tak kunjung selesai turut mengaburkan ruang diskusi politik nasional.
Sorotan lain yang tak kalah tajam adalah soal penegakan hukum, terutama setelah Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) dan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) baru dipastikan berlaku mulai 2 Januari 2026, meski masih menuai kontroversi.
Menurut Hensa, kepercayaan publik turut goyah akibat merebaknya persepsi intervensi presiden terhadap putusan pengadilan dalam beberapa perkara besar seperti kasus Hasto Kristiyanto, Tom Lembong, dan Ira Puspadewi, serta maraknya pemberian rehabilitasi maupun amnesti yang membingungkan masyarakat.
“Jadi, hal-hal seperti ini yang menjadi catatan bukan saja ekonomi, tapi juga kondisi hukum dengan peraturan-peraturan baru yang akan memengaruhi perpolitikan di Indonesia,” tuturnya.
Di bidang ekonomi, Hensa melihat ancaman lain yang tak kalah besar. Ia menilai efek tetesan ke bawah (trickle down effect) dari kelompok 1 persen orang terkaya hampir tidak terjadi, karena aliran dana mereka justru lebih banyak tersedot ke instrumen seperti saham dan emas dibanding ke sektor riil.
Di saat bersamaan, daya beli masyarakat melemah, Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) meningkat, dan ketergantungan negara pada utang kian mengkhawatirkan.
Kondisi tersebut, tambahnya, diperparah oleh pola komunikasi pejabat publik yang kerap minim empati, dampak lanjutan bencana alam di berbagai wilayah, serta keraguan publik terhadap efektivitas program-program prioritas pemerintah.
“Memang pejabat pemerintah boleh saja bermedsos, tapi harus mementingkan 3 hal, yakni berempati, tulus, dan berdampak, sehingga menunjukkan bahwa bermedsos tak hanya sekedar pencitraan,” jelas CEO lembaga survei Kelompok Diskusi dan Kajian Opini Publik Indonesia (KedaiKOPI) itu.
Di tengah kecemasan ekonomi, prediksi pertumbuhan yang mendekati nol persen pada kuartal ketiga 2026, serta desakan publik agar Presiden segera melakukan reshuffle kabinet, menjadi perbincangan yang tak pernah padam. Masyarakat ingin memastikan bahwa para menteri bekerja berbasis meritokrasi, bukan sekadar politisasi jabatan.
“Reshuffle ini masih ditunggu-tunggu oleh banyak masyarakat, dan memang semuanya menjadi ranah presiden, tapi tetap ditunggu perbaikan-perbaikan punggawa kabinet karena ada kaitannya dengan perbaikan ekonomi dan pelaksanaan supremasi hukum. Nah, hal-hal itu yang tampaknya akan menjadi topik perbincangan di 2026,” kata Hensa.
Meski demikian, Hensa menilai Presiden Prabowo Subianto sejatinya mulai menunjukkan upaya perbaikan. Ia tetap optimistis, selama pemerintah dapat menjawab kegelisahan publik secara nyata dan tepat sasaran.
“Saya percaya niat baik Pak Prabowo untuk memperbaiki Indonesia dan saya yakin bahwa beliau bisa. Hanya saja pertanyaan-pertanyaan di masyarakat harus bisa segera dijawab dan digelontorkan program-program yang memang langsung memiliki dampak,” tutupnya.
Dalam atmosfer politik yang terus bergerak cepat, peringatan Hensa menjadi refleksi penting bagi pemerintah maupun publik, masa depan politik Indonesia hanya akan setangguh kemampuan negara menjaga kewibawaan hukum dan memulihkan napas ekonomi rakyat. Dua syarat utama yang akan menentukan arah perjalanan bangsa pada tahun-tahun mendatang. (her)









