INDOPOSCO.ID – Anggota Komisi III DPR RI Abdullah mendorong pembentukan Tim Gabungan Pencari Fakta (TGPF) untuk mengusut tuntas kasus penemuan kerangka dua mahasiswa, Muhammad Farhan Hamid dan Reno Sastrawijaya, di Gedung ACC, Kwitang, Jakarta Pusat. Keduanya sebelumnya dilaporkan hilang pasca-demonstrasi besar pada akhir Agustus 2025 lalu.
Abdullah menilai, pembentukan TGPF menjadi langkah penting untuk menjawab berbagai dugaan kejanggalan yang muncul di tengah publik. Terlebih, lembaga advokasi KontraS juga telah menyoroti sejumlah hal yang dianggap tidak wajar dalam proses penemuan kerangka tersebut.
“Ada beberapa hal yang patut dipertanyakan, mulai dari selisih waktu pemeriksaan forensik hingga kesimpulan yang terburu-buru mengaitkan kerangka dengan Farhan dan Reno,” ujar Abdullah dalam keterangan tertulisnya, dikutip Rabu (12/11/2025).
KontraS sebelumnya mencatat kejanggalan pada selisih waktu antara pemeriksaan gedung pada 19 Oktober dengan penemuan kerangka pada 29 Oktober, garis polisi yang sudah dicabut, serta padamnya CCTV sebelum penemuan berlangsung.
“Hal-hal tersebut tentu harus dijawab dengan bukti dan data yang valid. Karena itu saya mengusulkan dibentuknya TGPF Kerangka Farhan dan Reno, tentunya setelah berkomunikasi dengan keluarga korban,” jelas legislator asal Dapil Jawa Tengah VI itu.
Menurut Abdullah, TGPF sebaiknya terdiri dari berbagai unsur agar investigasi berlangsung objektif dan bebas konflik kepentingan.
“Komposisinya bisa melibatkan Kepolisian, Komnas HAM, KontraS, Amnesty International Indonesia, LPSK, lembaga forensik independen dari dalam maupun luar negeri, akademisi, serta media massa,” usulnya.
Ia menambahkan, pembentukan TGPF saat ini juga memiliki momentum yang tepat, bertepatan dengan pelantikan Komisi Percepatan Reformasi Kepolisian yang dipimpin oleh Jimly Asshiddiqie.
“Saya yakin tim Pak Jimly akan terbuka terhadap hasil temuan TGPF nantinya. Bahkan, hasilnya bisa menjadi masukan penting bagi komisi tersebut dalam mempercepat reformasi kepolisian,” ungkapnya.
Abdullah menegaskan, dorongan pembentukan TGPF bukan bentuk ketidakpercayaan terhadap Polri, melainkan wujud tanggung jawab moral untuk menjaga transparansi dan akuntabilitas hukum.
“Kasus ini menyangkut hak hidup dua warga negara. Negara wajib menjelaskan kebenarannya. Jika tidak, hukum akan kehilangan legitimasi dan gagal menghadirkan keadilan yang nyata,” pungkasnya. (dil)









