INDOPOSCO.ID – Federasi Sepak Bola Internasional (FIFA) menunjukkan keseriusan nyata dalam memerangi rasisme di dunia sepak bola. Melalui program Global Stand Against Racism, badan sepak bola tertinggi dunia itu menggelar pertemuan perdana Players’ Voice Panel (PVP) di Rabat, Maroko, pada Senin (10/11/2025), 18 bulan setelah panel tersebut resmi dibentuk dalam Kongres FIFA ke-74 di Bangkok, Thailand.
Program global ini menjadi tonggak penting dalam upaya FIFA menyingkirkan diskriminasi dari seluruh lapisan sepak bola, dari lapangan hijau, tribun penonton, hingga dunia maya.
FIFA mewajibkan seluruh 211 Asosiasi Anggota, termasuk Indonesia dalam hal ini PSSI, untuk bergerak di bawah lima pilar Utama, yakni Aturan dan Sanksi, Tindakan di Lapangan, Penegakan Hukum Pidana, Pendidikan, dan Suara Pemain (Players’ Voice).
Pilar terakhir menjadi simbol kuat perjuangan pemain, mereka yang paling dekat dengan denyut sepak bola, untuk menjadi garda depan melawan diskriminasi dan ujaran kebencian. Melalui PVP, suara para pemain kini bukan sekadar teriakan di lapangan, tetapi juga seruan perubahan sosial.
Panel ini diisi oleh 16 figur legendaris dari 14 negara, mewakili keenam konfederasi FIFA. Nama-nama besar seperti George Weah (kapten kehormatan), Didier Drogba, Formiga, Juan Pablo Sorín, Mikaël Silvestre, Briana Scurry, hingga Iván Córdoba mempertegas bobot moral dari gerakan ini.
Dalam sambutannya yang menggugah, George Weah, legenda asal Liberia dan satu-satunya pesepak bola yang pernah menjadi presiden negara, menyampaikan pesan mendalam.
“Kita semua harus menikmati permainan indah ini tanpa kebencian. Kita harus berjalan dan bernyanyi bersama di stadion, bukan saling menyerang. Rasisme adalah penyakit yang harus kita basmi dari sepak bola dan dari masyarakat,” ujar Weah dikutip dari keterangan PSSI, pada Rabu (12/11/2025).
Kutipan itu menggema di ruang pertemuan, menegaskan bahwa sepak bola bukan hanya tentang skor dan trofi, tetapi juga tentang kemanusiaan.
PVP bukan sekadar forum simbolik. Dari pertemuan tersebut, FIFA menegaskan sejumlah langkah konkret, seperti Pembaruan Kode Disiplin (FDC) dengan peningkatan denda atas tindakan rasis hingga CHF 5 juta; penerapan prosedur tiga langkah anti-diskriminasi, termasuk penghentian pertandingan bila insiden rasis berlanjut; pengawasan media sosial melalui FIFA Social Media Protection Service; serta perluasan program pendidikan lewat Football for Schools dan platform e-learning.
Para anggota panel juga akan berperan aktif sebagai pengawas kebijakan anti-rasisme, mentor bagi pemain muda, dan agen perubahan budaya di seluruh dunia sepak bola.
Bagi Indonesia, inisiatif global ini menjadi refleksi penting. Dalam beberapa waktu terakhir, dunia olahraga nasional kerap diwarnai kasus bullying dan ujaran bernada rasis, baik di arena pertandingan maupun jagat media sosial.
Jika fenomena ini dibiarkan, bukan hanya mencoreng sportivitas, tetapi juga berpotensi memicu sanksi atau denda dari FIFA. Karena itu, semangat kampanye Global Stand Against Racism harus diadopsi secara nyata, dari ruang ganti pemain hingga tribun suporter.
Sepak bola adalah bahasa universal yang menyatukan perbedaan. Dan lewat gerakan ini, FIFA ingin memastikan bahwa bahasa itu tetap murni, tanpa kebencian, tanpa diskriminasi. (her)









