Akademisi Menilai secara De Jure Ada Dua Sekda di Banten

INDOPOSCO.ID – Proses pemberhentian Sekretaris Daerah (Sekda) Banten Al Muktabar hingga saat ini secara de jure belum final karena belum ada Surat Keputusan (SK) Presiden terkait pemberhentian dimaksud. Artinya, secara de jure (hukum), Al Muktabar masih menjabat sebagai Sekda Banten yah sah.
Namun, di sisi lain Gubernur Banten Wahidin Halim telah mengangkat Pelaksana Tugas (Plt) Sekda Banten, Muhtarom yang juga menjabat sebagai Kepala Inspektorat Banten. Jadi, secara de jure, ada dua Sekda di Pemprov Banten.
“Diakui atau tidak, Banten memiliki dua Sekda. Sekda yang diangkat oleh SK Presiden dan hingga saat ini belum bisa diberhentikan oleh Gubernur karena harus ada SK pemberhentian dari Presiden juga. Satu lagi Sekda dengan SK Gubernur, yakni Plt. Sekda yang diharapkan segera menggantikan Sekda yang sah apa pun caranya. Apa motif dari perancang situasi ini,” kata akademisi Universitas Sultan Ageng Tirtayasa (Untirta) Serang, Ikhsan Ahmad, kepada INDOPOSCO, Selasa (30/11/2021).
Ikhsan menilai kegaduhan dualisme Sekda Banten mengindikasikan bahwa tata kelola pemerintahan di Pemprov Banten begitu fatalistik dan sesat.
“Ada Sekda definitif namun dibuat non definitif dan ada Sekda yang belum definitif tetapi dipaksakan sah dan tanpa malu menjadi Plt. Sekda. Konsekuensi dan risiko hukum dalam peristiwa ini pasti ada, namun agaknya disingkirkan dan tanpa disadari mempertontonkan kelemahan dan rendahnya kapasitas, integritas dan moralitas birokrasi dan kepemimpinan di dalamnya,” tegas Ikhsan.
Baca Juga: Selter Sekda Banten Diperkirakan Tahun Depan
Menurut Ikhsan, penjatuhan hukuman disiplin yang berikan Gubernur kepada Sekda yang sah, kemudian disidang dalam pemeriksaan oleh Kepala Inspektorat yang merangkap sebagai Plt. Sekda bersama beberapa orang pejabat Pemprov dengan materi pemeriksaan berkisar soal pengunduran diri sebagai Sekda Provinsi Banten dan soal absensi adalah fenomena langka dan jauh dari norma-norma etika pemerintahan dan etika birokrasi.
“Sekda Provinsi adalah pejabat eselon I dan tertinggi pada birokrasi di pemerintahan provinsi dan atau di kementerian/lembaga non kementerian. Kalau pejabat tingginya saja diperlakukan seperti ini, bagaimana mereka memperlakukan masyarakat,” tegasnya.
Menurut Ikhsan, tidak jelas substansi substansi pemeriksaan yang dilakukan terhadap Al Muktabar selaku Sekda Banten yang sah.
Ikhsan mempertanyakan motif di balik pemaksaan kehendak untuk menggantikan Sekda Banten ini.
“Mengapa polemik ini terjadi? Apa akar masalahnya? Apa pertimbangannya, mengapa mesti ada penggantian Sekda di sisa akhir jabatan yang hanya tinggal beberapa waktu? Apa dasar evaluasinya mengapa Sekda yang sah harus diganti? Dan apa evaluasinya mengapa mesti ada Plt. Sekda? Dan mengapa tidak ada penjelasan yang meyakinkan atas perbuatan curang memblok absensi?” ujar Ikhsan.
Ikhsan menegaskan, berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan, keputusan pemberhentian Sekda provinsi adalah wewenang presiden atau Menteri Dalam Negeri atas nama presiden karena Sekda Provinsi diangkat oleh Presiden.
Oleh karenanya keputusan Gubernur yang memberhentikan Sekda dengan SK Gubernur adalah cacat hukum.
“Sebaiknya Al Muktabar, yang secara de jure masih menjabat Sekda Provinsi Banten melakukan perlawanan hukum baik melalui laporan pidana, gugatan perdata atau Tata Usaha Negara (TUN) bukan untuk sebuah kepentingan pertarungan politik tetapi pembelajaran kepada birokrasi dan masyarakat agar yang salah ke depan tidak terulang,” katanya.
Ikhsan berpendapat, dengan hebohnya kasus yang cukup memalukan ini, dan setelah berbagai kasus penting lainnya yang banyak menarik perhatian publik, Pemprov Banten saat ini betul-betul sedang berada di titik nadir dalam perspektif good governmance.
“Adakah hal ini berkaitan dengan sindrom akhir masa jabatan dan atau skenario politis menjelang Pilkada 2024,” pungkas Ikhsan. (dam)