Kasus Korupsi Hibah Ponpes, JPMI Desak Kejati Segera Periksa Gubernur Banten

INDOPOSCO.ID – Kejaksaan Tinggi (Kejati) Banten didesak untuk segera memeriksa Gubernur Banten Wahidin Halim terkait kasus dugaan korupsi dana hibah untuk Pondok Pesantren (Ponpes) pada tahun anggaran 2018 senilai Rp66,280 miliar dan tahun anggaran 2020 sebesar Rp117,780 miliar.
Koordinator Presidium Jaringan Pemuda dan Mahasiswa Indonesia (JPMI) Deni Iskandar kepada INDOPOSCO.ID, Kamis (27/5/2021) sore menjelaskan, semua pejabat yang terkait persoalan dana hibah untuk Ponpes, termasuk Gubernur Banten Wahidin Halim harus diperiksa agar kasus dugaan korupsi tersebut menjadi terang-benderang dan diusut tuntas sampai ke akar-akarnya.
“Pada prinsipnya kami percaya Kejati Banten dalam menangani kasus dugaan korupsi hibah Ponpes ini. Progres penanganan kasus hibah Ponpes oleh Kejati Banten saat ini sangat menggembirakan. Ini merupakan bagian dari harapan JPMI agar kasus ini ditangani secara transparan, objektif dan profesional. Kejati Banten telah menunjukkan keprofesionalannya, karena itu kami akan tetap kawal agar kasus ini diusut tuntas sampai ke akar-akarnya hingga dalangnya tertangkap,” tegas Deni Iskandar.
Deni mengatakan, pihaknya tetap menjaga komitmen dan konsisten untuk mengawal laporan ke Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) agar paling tidak, KPK turun ke Banten untuk melakukan monitoring dan supervisi sehingga penanganan kasus hibah Ponpes berjalan objektif dan tidak tebang pilih.
“Kami akan tetap kawal laporan kami ke KPK. Kami telah melaporkan Gubernur Banten Wahidin Halim, Sekretaris Daerah (Sekda) Al Muktabar dan Kepala Badan Pengelolaan Keuangan dan Aset Daerah (BPKAD) Banten Rina Dewiyanti ke KPK. Kami melaporkan para pejabat itu, tujuannya agar seluruh proses pemberian dana hibah Ponpes itu terungkap secara jelas, mulai dari proses perencanaan, pembahasan, hingga proses pelaksanaan atau pencairan dana hibah,” tegas Deni.
Deni mengatakan, pihaknya tentu tetap mengedepankan asas presumption of innocence (praduga tak bersalah) dalam mengawal kasus dugaan korupsi hibah Ponpes ini. Desakan agar Kejati segera memeriksa Gubernur Banten Wahidin Halim, kata Deni, dalam konteks agar kasus dugaan korupsi hibah Ponpes menjadi terang dan jelas sehingga siapa pun yang terlibat harus diproses.
“Kami akan mendatangi KPK lagi guna menanyakan progres laporan yang telah kami sampaikan. Kami berharap KPK melakukan monitoring dan supervisi ke Banten agar kasus dugaan korupsi dana hibah ini ditangani secara tuntas sampai ke akar-akarnya dan tidak ada yang terlewatkan,” tegasnya.
Untuk diketahui, Kejati Banten telah menetapkan lima orang tersangka dalam kasus dugaan korupsi dana hibah untuk Ponpes pada tahun 2018 dan 2020.
Dua tersangka di antaranya adalah mantan pejabat di Biro Kesejahteraan Rakyat (Kesra) Banten yakni mantan Kepala Biro Kesra Irvan Santoso (IS) dan mantan Pelaksana Tugas (Plt) Kepala Biro Kesra selaku Ketua Tim Verifikasi Dana Hibah Ponpes tahun 2020 Toton Suriawinata (TS).
Kuasa Hukum tersangka Irvan Santoso, Alloys Ferdinand mengatakan, kliennya adalah korban. “Dalam BAP (Berita Acara Pemeriksaan) bahwa memang rekomendasi (pemberian hibah) itu tidak keluar karena melampaui waktu berdasarkan Peraturan Gubernur (Pergub). Namun ini karena perintah atasannya (Gubernur Banten Wahidin Halim) dana hibah itu tetap dianggarkan,” kata Alloy kepada awak media, Jumat (21/5/2021).
Alloys menjelaskan, tahun 2018 dan tahun 2020 alokasi dana hibah untuk pondok pesantren tersebut, melampaui waktu. Hanya saja karena sebagai bawahan dari Gubernur Banten Wahidin Halim, kliennya Irvan mengaku tidak memiliki kemampuan untuk menolak perintah Gubernur Banten Wahidin Halim.
“Bahkan dia dianggap mempersulit (penyaluran dana hibah Ponpes) akhirnya dia memilih meminimalisir namun akhirnya dana itu tetap keluar,” katanya.
Dalam pertemuan dan rapat di rumah dinas Gubernur Banten Wahidin Halim saat itu, kata Alloys, memposisikan Irfan Santoso terpaksa tetap mengalokasikan dana hibah untuk pondok pesantren. “Klien kami dianggap mempersulit pengucuran dana hibah itu,” jelasnya.
Lebih lanjut dalam kesempatan berbeda, Alloys mengatakan kliennya Irvan Santoso selaku Kepala Biro Kesra 2018 dan 2020 saat itu, berdasarkan keterangannya, menjalankan ini (penyaluran dana hibah Ponpes) atas dasar arahan, pertimbangan dan masukan dari Gubernur Banten Wahidin Halim.
“Seperti dana hibah 2018 ada proposal dari FSPP (Forum Silaturahmi Pondok Pesantren). Ada dua proposal masuk. Proposal yang pertama, terus yang kedua itu hasil revisi, yang selanjutnya dikonfirmasi ke gubernur dan gubernur minta untuk dianggarkan pada tahun 2018. Yang mana, kita tahu bersama bahwa penganggaran itu sudah melewati waktu penganggaran. Itu yang secara hukum ada kekeliruan terhadap penggunaan anggarannya,” kata Alloys.
Alloys mengungkapkan, kliennya beberapa kali memberikan masukan-masukan terkait pemberian dana hibah, namun mungkin karena ini adalah program dari Provinsi Banten yang direalisasikan setiap tahunnya, maka pemberian dana hibah tetap dijalankan.
“Kenapa saya bilang klien saya adalah korban, karena sebagai Kepala Biro Kesra Banten tidak mempunyai kepentingan dengan para penerima hibah, baik itu pesantren maupun para kiai. Klien saya hanya mengatakan bahwa ini sebagai wujud perhatiannya terhadap para kiai. Terlebih karena dapat perintah dari atasannya,” jelasnya.
Alloys mengatakan kliennya Irvan Santoso bersedia untuk menjadi Justice Collaborator (JC) dalam kasus hibah Ponpes untuk mengungkap kasus ini secara detail dan membuka siapa saja yang terlibat.
“Pak Irvan akan menjadi Justice Collaborator, untuk mengungkap sedetail-detailnya, seluas-luasnya, siapa saja yang terlibat dalam perkara hibah ini,” ujarnya.
Diketahui, JC adalah seorang pelaku tindak pidana yang bersedia bekerja sama dengan penegak hukum untuk membongkar sebuah kejahatan atau kasus yang dinilai pelik dan besar. (dam)