Soal Pinjaman Daerah, Pemprov Banten Diminta Konsultasi ke Publik

INDOPOSCO.ID – Pinjaman daerah Pemerintah Provinsi (Pemprov) Banten senilai Rp 4,1 triliun kepada PT. Sarana Multi Insfratuktur (SMI) menjadi polemik. Kebijakan pemberlakuan bunga 6 persen dinilai simalakama bagi pembangunan daerah.
Atas permasalahan itu, Gubernur Banten Wahidin Halim diminta untuk melakukan konsultasi kepada publik dalam mengambil keputusan, antara batal melakukan pinjaman atau melanjutkan dengan beban bunga 6 persen.
“Kalau Gubernur tanpa melakukan konsultasi meskipun tidak harus, juga tidak konsutasi ke publik, itu akan menjadi polemik yang menghantam,” kata Wakil Ketua DPRD Provinsi Banten Nawa Said Dimyati, Selasa (6/4/2021).
Nawa mengatakan, kewajiban membayar bunga menjadi batu sandungan bagi pembangunan di Provinsi Banten. Terlebih, Pemprov Banten terlalu percaya diri sejak dari awal bahwa pinjaman itu tak berbunga. Sehingga dalam postur Anggaran Pendapatan Belanja Daerah (APBD) tahun 2021, tidak ada alokasi untuk pembayaran bunga pinjaman.
Dalam hal ini, pria yang kerap disapa Cak Nawa itu menegaskan, DPRD tidak memiliki hak budgeting dalam pengelolaan dana pinjaman daerah. Sebab, legitimasi melakukan pinjaman mengacu pada Undang-Undang (UU) nomor 2 tahun 2020 tentang Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan untuk Penanganan Pandemi Covid-19.
“Ketika mengajukan ke DPRD dengan menggunakan UU no 2 tahun 2020, ini kita nggak tahu, itu omongan pusat dengan Pemprov, pemerintah dengan pemerintah. Yang masuk ke kami (DPRD) gelondngan. Karena menggunakan UU no 2 tahun 2020, kita nggak punya hak budgeting,” tegasnya.
Sementara, pinjaman daerah menjadi sumber pendanaan dalam APBD tahun 2021 atas asumsi tidak ada bunga. Akibatnya saat ini, ada 40 daerah yang digantung nasib pinjaman daerahnya karena kebijakan berbunga.
Jika dikalkulasikan, dalam waktu satu tahun Pemprov Banten harus membayar bunga pinjaman sekitar RP200 miliar. Ditambah dengan skema cicilan pertahun menjadi Rp1,1 triliun. Padahal, Pendapatan Asli Daerah (PAD) hanya Rp8 triliun.
“Kita masukan ke APBD dengan asumsi tidak ada bunga, yang ada itu provisi sama apa gitu (biaya pengelolaan dana pinjam). Tapi ketika ada regulasi, saran saya Pemprov konsultasi kepada publik, bukan hanya ke DPRD tapi kepada stekholder yang ada di wilayah kita,” terangnya.
Di sisi lain, Pemprov Banten harus berkonsolidasi dengan Pemerintah Daerah (Pemda) yang melakukan pinjaman, untuk mendesak Kementrian Keuangan (Kemenkeu) tidak memberlakukan bunga dan kembali pada perjanjian kerjasama (PKS) di tahap pertama.
“Dulu itukan bunganya yang bayar Pemerintah Pusat, sekarang bunganya yang bayar kita, kan lucu. Kalau dilanjutkan konsekuensi mampu nggak membayar cicilan pertahun baik pokok dan bunga. Kalau tidak dijalankan, ini akan menghambat program pembangunan atau mungkin sebagian dilakukan, sebagian tidak,” jelasnya. (son)