Nusantara

Simalakama Pinjaman Daerah, Proyek Strategis Terancam Batal?

INDOPOSCO.ID – Pinjaman daerah Pemerintah Provinsi (Pemprov) Banten kepada PT. Sarana Multi Infrastruktur (SMI) Ekonomi Nasional (PEN) itu, wajib bayar bunga 6 persen.

Sementara, dalam Anggaran Pendapatan Belanja Daerah (APBD) 2021 tidak dialokasikan untuk pembayaran bunga. Awalnya, Pemprov Banten mengira pinjaman itu tanpa bunga, sesuai Perjanjian Kerja Sama (PKS) seperti dana pinjam tahap I senilai Rp856 miliar untuk APBD Perubahan 2020.

Padahal, pinjaman di tahap II itu belum ada persetujuan atau PKS baru. Ditambah, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengeluarkan Peraturan Menteri Keuangan (PMK) nomor 179 tahun 2020 atas perubahan PMK nomor 105 tahun 2020 tentang pengelolaan pinjaman PEN untuk Pemerintah Daerah (Pemda).

Dari dana pinjam Rp4,1 triliun, digunakan untuk enam Organisasi Perangkat Daerah (OPD). Di antaranya, Dinas Kesehatan Rp1,023 triliun, Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Rp760 miliar, Dinas Pekerjaan Umum dan Penataan Ruang Rp1,591 triiliun, Dinas Perumahan Rakyat dan Permukiman Rp715 miliar, Dinas Perindustrian dan Perdagangan Rp30 miliar dan Dinas Pertanian Rp13,805 miliar.

Alokasi dana itu dikhususkan untuk pembangunan insfratuktur. Dari enam OPD, diproyeksikan ada 17 pembangunan strategis. Bahkan, Pemprov Banten telah melakukan tender atau sebagian beberapa proyek. Padahal, dana pinjam dari SMI belum ditransfer.

Ketua Bidang Hukum Tata Negara, Lia Riesta Dewi mengatakan, kebijakan Pemprov Banten yang memasukan dana pinjam Rp4,1 triliun sebelum mendapatkan persetujuan atau agreement dari SMI ke dalam APBD 2021, dinilai kurang tepat.

“Memang mau pinjamnya sejumlah triliun, dibuat tahap pertama dulu. Nah tahap pertama itu hanya mengikat pada saat perjanjian itu dengan nilai Rp856 miliar. Tidak bisa selanjutnya (pinjaman tahap II) Pemprov berasumsi bakal sama PKS-nya nggak bisa. Secara hukum juga nggak bisa,” katanya saat dihubungi, Kamis (1/4/2021).

Ia menerangkan, terlalu dini jika pengesahan APBD 2021 disebut penyalahgunaan wewenang. Namun, pihaknya melihat ada ketidakhati-hatian dalam menyusun perencanaan program yang dimuat dalam APBD. Pemprov Banten dituding lebih mengedepankan perasaan dibandingkan logika dan analisa.

“Kalau saya melihatnya kurang kehati-hatian dalam merencanakan (APBD, red). Basisnya bukan menggunakan logika dan analisa tapi perasaan sama PKS yang kemarin akan sama itu, kan gitu, pakai feeling bukan logika,” terangnya.

“Kalau saya melihatnya mencoba mengelabui, bahwa sebetulnya mereka itu salah, cuma mau bilang salah kan malu. Apalagi Gubernur selalu gengsi, di kritik saja nggak bisa gitu. Harus siap dan gentelment mengakui ya kita salah gitu. Bukan bertahan mereka benar, akan menambah polemik, yang seenaknya bilang kalau ada bunganya dibatalin. Tidak bisa seperti itu loh memimpin daeah, bukan mimpin rumah tangga,” ungkapnya.

“Kok DPRD segitu percayanya, harusnya DPRD bertanya apakah benar tidak ada bunga, sudah ada MoU, kan harus mencari keyakinan yang dijelaskan Pemprov Banten. Tapi inikan nggak, berarti ini sudah bersama-sama dilakukannya. Entah bersama karena kecerobohan atau membodohi kita semua. Kalau saya melihatnya seperti itu,” tambahnya.

Menurut Lia, bunga pinjaman daerah sudah menjadi buah simalakama. Saat ini, Pemprov tinggal memilih antara kesanggupan membayar bunga, pinjaman dibatalkan dengan konsekuensi proyek strategis batal. Keputusan harus diambil secara bersama-sama dengan mempertimbangkan aspek kebermanfaatan masyarakat Banten.

“Kalau menurut saya harus duduk bersama semuanya antara DPRD, Pemprov, panggil fakar hukum. Dibahas secara benar bukan hanya administrasi saja, dilihat mana yang lebih baik, diteruskan atau tidak. Harus dilihat kebermanfaatan untuk masyarakat. Harus ada langkah konkret yang diambil. Kepala Daerah harus ada pilihan dan berani mengambil pilihan itu dengan dipertanggungjawabkan,” tuturnya. (son)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Back to top button