
INDOPOSCO.ID – Kata yang trendi walau angin-anginan ini dalam kamus Perancis artinya merobohkan legitimasi. Coup d’État adalah gerakan pembalikan kekuasaan terhadap seseorang yang berwenang dengan cara ilegal.
Di Indonesia kata ini disebut Kudeta, sama dengan di Filipina. Warga Hawaii menyebutnya dengan kata Ke Kī. Warga Maori menyebut Tuhingga. Osofa’i dalam bahasa Samoa.
Akhir-akhir ini kita mendengar berita tentang Kudeta yang menimpa Myanmar. Negara dengan populasi hanya sekitar 54 juta penduduk ini mengawali hobi kudetanya pada bulan Maret 1962. Kemudian yang terakhir, terjadi lagi dihari pertama bulan Februari 2021 kemarin. Tatmadaw sebutan tentara Myanmar melakukan kudeta terhadap permerintah yang dipimpin Aung Sang Suu Kyi, dengan alasan pemilihan presiden kemarin dianggap curang. Alasan klasik pelaku kudeta. Kudeta di Myanmar sering terdengar mudah. Mungkin selain penduduknya sedikit, tetapi yang pasti dimana rakyat paling-paling bersenjata bedil untuk menembak burung, memang tidak mungkin menang melawan tentara dengan senjata yang bisa mematikan manusia. Inilah yang kemudian membuat para pengamat dan pakar politik mengatakan, tentara tidak layak terjun dalam politik.
Tetapi hal ini masih common, masih biasa dinegara berkembang yang belum terlalu matang pemahaman demokrasinya.
Isu kudeta ini juga pernah terjadi di Indonesia saat kekuasaan Soeharto berakhir. Tetapi cerita itu luntur begitu saja. Banyak cerita, banyak bahasan, banyak dugaan, tetapi yang jelas tidak jadi terjadi. Apakah memang ada yang merencanakan kudeta saat itu? Wallahu a’lam bishawabi, dan Allah lebih tahu yang sebenarnya.
Perkiraan saya, dengan Sapta Marga dan Sumpah Prajuritnya, militer di Indonesia tidak akan berniat melakukan kudeta. Kalaupun ada oknum militer yang berniat, perhitungan saya tidak akan berhasil. Selain rakyat Indonesia yang sudah mulai terbiasa dengan kata demokrasi, perkembangan teknologi media sosial, juga jumlah rakyat yang cukup besar.
Tetapi di musim pandemi covid-19 ini, ternyata ada virus lucu lain yang membuat gatal Partai Politik di dalam negeri. Ditengah masyarakat yang sedang sibuk waspada, dan sedang ketakutan sekali kena tilang saat bepergian tapi lupa bawa masker, tiba-tiba media masa mengabarkan bahwa ada isu adanya kelompok yang akan melakukan kudeta atas kepempinan Partai Demokrat. Lalu berlanjut beredarnya surat pribadi dari anonim yang mengutarakan kekecewaannya terhadap SBY. Kecewa karena merasa yang paling membesarkan SBY, tetapi tidak mendapat jatah kuasa apapun, kira-kira begitulah inti surat itu.
Sekedar iseng, santai membicarakan Partai Demokrat. Mengapa santai? Karena kita atau khususnya saya bukanlah anggota Partai Demokrat. Jadi kita sebenarnya tidak punya hak untuk membicarakan internal Partai Demokrat, Tetapi karena Partai Politik katanya adalah tempat penitipan aspirasi rakyat, maka kalau sekedar membahas, saya kira tidak ada salahnya.
Perebutan kekuasaan didalam tubuh Partai Politik di Indonesia bukanlah hal baru. Sebutan kudeta sebenarnya terlalu tinggi untuk pembalikan kekuasaan didalam sebuah Partai Politik. Kudeta lebih tepat digunakan untuk perebutan kekuasaan negara. Tetapi biarlah, agar lebih menarik untuk dibaca.
Perebutan kekuasaan dalam partai politik khususnya di Indonesia yang sering kita baca, terjadi dengan latar belakang alasan yang beragam. Dari tidak lagi terjadi kecocokan ideologi perjuangan (ini yang paling muluk-muluk), rebutan kursi kekuasaan, dan yang paling sering terjadi adalah karena sakit hati.
Catatan sejarah yang saya miliki, istilah kudeta didalam tubuh Partai Politik di Indonesia belum pernah terjadi.
Kalau ada perbedaan atau pertikaian didalam oragnisasi dengan apapun alasan, yang sering terjadi adalah terbentuknya Partai Politik baru sempalan dari Parpol yang ada. Saya tidak perlu sebut semua nama Partainya, mana yang asli, mana yang sempalan. Salah satu yang terkemuka, seperti PDI-PDIP-PDP dan sebagainya. Golkar-Nasdem mungkin Gerindra dan sebagainya.
Sakit hati memang menjadi penyebab populer dari perpecahan Partai Politik di Indonesia. Padahal, kalau tidak salah, Partai Politik adalah tempat berkumpulnya orang-orang yang memiliki ideologi dan tujuan yang sama. Logikanya kalau ada orang yang ideologi atau tujuannya tidak lagi sama, harusnya ingin segera keluar dari kumpulan tersebut. Tetapi kalau orang itu bersikeras untuk tetap ada didalam kumpulan, dan ingin berkuasa dengan alasan menegakkan ideologi awal, namanya bukan kudeta. Lalu proses politik dilakukan. Kalau yang bersangkutan mendapat dukungan mayoritas anggota kumpulan, bisa saja hal tersebut terjadi. Namun sekali lagi, di Indonesia kalimat menegakkan ideologi Partai kembali tersebut lebih hanya sekedar pemanis. Hal yang lebih utama karena sakit hati dan mungkin juga iming-iming menggiurkan dari sebuah kekuasaan disekitarnya.
Kalau sedikit menyinggung Partai Demokrat, ada hal yang menarik. Karena sebagai Partai baru, PD adalah salah satu dari yang sedikit, pernah membawa kadernya mejadi kepala negara melalu proses Pemilu. Partai lainnya hanya PKB, PDIP dan Golkar. Bahkan kalau jujur, Partai Golkarpun belum pernah membawa kadernya menjadi kepala negara. Soeharto? Saat beliau berkuasa, belum lahir Partai Golkar. Hanya SBY melalui PD, Gus Dur melalui PKB dan Jokowi melalui PDIP.
Dibanding dengan PDIP dan PKB, PD suka atau tidak suka memang sangat terwarnai oleh pribadi seorang SBY. Karakter pribadi, karisma apalagi saat memiliki kekuasaan sebagai Presiden, disana kekuatan inti PD. Catatan sejarah membuktikan hal itu. Dalam Pemilu tahun 2004, rakyat belum banyak kenal Partai Demokrat. Didalam pemilu saat itu PD hanya mendapat sektar 7%. Tetapi dengan kekuatan pribadi SBY dan kelihaian berpolitik Golkar, PD mendadak punya Presiden.
Rasanya semua anggota Partai Demokrat paham betul tentang hal ini. Saya tahu banyak tentang lahirnya PD, tetapi bukan seperti para sakit hati yang suka sekali melakukan klaim sebagai yang paling berjasa. Dengan SBY menjadi Presiden sejak tahun 2004, PD berkembang sangat cepat. Sebagai orang yang dulu merasa dekat dengan pribadi SBY, sejujurnya saya sempat khawatir dengan dinamika itu. Tetapi sekali lagi karena saya bukan anggota PD, maka hanya pengamatan dan tulisan yang bisa saya utarakan.
Pikiran sederhana saya mengatakan, berbahaya buat masadepan PD kalau selalu bergantung dengan pribadi SBY. Bahkan saya pernah mengatakan loyalitas pendukung didalam organisasi belum tentu tidak berubah dimasa depan. Oleh karenanya saya pernah mengatakan di media masa, ketidak setujuan saya bila SBY hendak menjadi Ketua Umum PD menjelang Pemilu 2014. Saya tidak setuju bukan karena saya punya hak bicara, tetapi saya utarakan hal itu karena saya Staf Khusus Presiden SBY. Saya paham benar karakter kepemimpinan SBY. Tidak mungkin SBY akan mengalahkan tugas-tugasnya sebagai Presiden dengan menghabiskan waktu mengurus PD. Maka saya mengatakan, tidak mungkin SBY bisa fokus mengurus PD, karena tugas dan kewajibannya sebagai Presiden sudah sangat berat. Tetapi saat itu nampaknya banyak anggota dan petinggi PD yang malah mendorong beliau untuk menjadi Ketum PD. Sejarah telah lewat, PD tahun 2014 kembali hanya mendapat suara sekitar 7%.
Angka perolehan suara PD tahun 2014 mengisyaratkan banyak hal. Tetapi yang hampir pasti karena setelah 2014, SBY tidak lagi bisa menjadi Presiden. Beliau tidak lagi bisa memiliki kekuasaan itu.
Diluar kinerja PD dimata rakyat, loyalitas intern untuk berjuang membesarkan Partai tidak nampak kokoh, seperti saat SBY masih memiliki kekuasaan.
Hal ini sebenarnya umum bagi sebuah organisasi yang sangat bergantung kepada satu sosok atau karena kuasa yang dimilikinya.
Kalau membandingkan semisal dengan PDIP, mereka beruntung karena memiliki sosok Bung Karno. PKB dimasa lalu memiliki tokoh-tokoh NU.
Kalau ingin bangkit, PD harus membangun dirinya menjadi Partai yang lebih terbuka. Jadikan SBY sebagai lentera, tetapi jangan beliau dijadikan fuse/ sekering yang mudah putus hanya karena terjadinya sedikit kortsleting.
Kelompok sakit hati selalu ada disetiap organisasi. Apalagi organisasi politik. Kokohkan oranisasi dengan perjuangan nyata, bukan sekedar citra. Kembangkan gambaran masadepan perjuangan yang riil, yang bisa digapai, dan bukan hanya sekedar angan-angan namun manis didengar. Karena sedang tidak berkuasa, jadilah oposisi yang membangun yang kokoh dan berpihak kepada kepentingan rakyat. Megawati dengan PDIPnya suka atau tidak suka bisa dijadikan contoh. Saat SBY berkuasa, begitu menggebunya menjadi oposisi. Tetapi hasilnya sekarang mereka bisa berkuasa. Bisa jadi kali ini rakyat sebenarnya menunggu PD untuk juga menggebu.
Biarkan saja kelompok sakit hati bersuara, mereka punya hak untuk bicara. Kalau internal partai melalui pengurus yang ada sekarang memang kuat dan bijak, mereka paling-paling akan membuat partai sempalan.
Partai-partai sempalan yang menjadi momok bagi rakyat. Mengapa? Karena mereka hanya akan menghabiskan uang rakyat semata. Ratusan Parpol di tanah air ini hanya bermodal selembar surat sah untuk ikut Pemilu, uang rakyat langsung harus disumbangkan kepada mereka. Dan hasilnya? Dalam Pemilu hanya mendapat suara nol koma!
Kudeta ada, tetapi disini tidak ada.
Yang ada jaga jarak dan jangan lupa bahagia.