Nasional

Minta Keadilan, Ahli Waris Hakim Sitorus Memohon Fatwa MA atas Penerapan PK Kedua

INDOPOSCO.ID – Di tengah upaya mencari keadilan, para ahli waris dari almarhum Hakim Sitorus, hari ini secara resmi mengajukan permohonan fatwa hukum kepada Ketua Mahkamah Agung (MA). Permohonan ini diajukan sebagai langkah krusial setelah Pengadilan Negeri Bandung menolak memproses permohonan Peninjauan Kembali (PK) kedua yang didasarkan pada penemuan bukti baru yang menentukan (novum), melalui suratnya Nomor : 4356/PAN.W11.U1/HK.02/IX/2025 tanggal 16 September 2025.

Para ahli waris diwakili kuasa hukumnya dari Firma Hukum Martin Lukas Simanjuntak and Partners yaitu Martin Lukas Simanjuntak, S.H., dan Christian Haryadi Latumeten, S.H., M.Kn. Para pemohon, yang merupakan pihak yang kalah dalam putusan PK pertama, kini berjuang agar MA sebagai benteng terakhir keadilan dapat memberikan petunjuk hukum yang memungkinkan upaya hukum luar biasa mereka diperiksa demi tegaknya keadilan materiil.

Perkara ini berawal dari Putusan PK No. 853PK/Pdt/2022 tanggal 28 September 2022. Dalam putusan tersebut, Mahkamah Agung mengabulkan permohonan PK dari pihak lawan dan membatalkan kemenangan para ahli waris Hakim Sitorus di tingkat kasasi, banding, dan pengadilan negeri. Akibatnya, para ahli waris dinyatakan telah melakukan perbuatan melawan hukum dan dihukum untuk membayar ganti rugi.

Putusan PK pertama tersebut didasarkan pada pertimbangan bahwa almarhum Hakim Sitorus telah mengangkat dirinya sebagai Ketua Koperasi secara tidak sah.

Dalam Putusan tersebut Mahkamah Agung menerapkan Keadilan Subtantif di atas Keadilan Prosedural, walaupun oleh Pihak Penggugat dalam perkara tersebut pada petitum atau permohonan pada Gugatannya meminta menyatakan Para Ahli Waris Hakim Sitorus yang melakukan perbuatan melawan hukum.

“Hal ini tidak dibenarkan oleh MA tetapi dianggap para ahli waris yang menanggung atas perbuatan almarhum Hakim Sitorus, dalam arti Mahkamah Agung tidak mempertimbangkan keadilan procedural tersebut, dan telah menerapkan Keadilan Subtantif daripada Keadilan Prosedural, yang menurut kami, pertimbangan tersebut keliru,” kata Lukas Simanjuntak.

Ditambahkan Lukas, karena ahli waris tidak bertanggungjawab atas Perbuatan melawan hukum yang dilakukan pewaris dan dalam PK pertama ahli waris dipertimbangkan untuk bertanggungjawab atas perbuatan melawan hukum pewaris semasa hidupnya dengan menggunakan dasar hukum Pasal 1100 BW.

“Menurut pendapat kami pasal tersebut mengatur tentang apabila pewaris mempunyai utang berdasarkan perjanjian atau hibah wasiat terkait harta warisan, maka ahli waris bertanggungjawab atas utang tersebut dan yang berkaitan dengan harta warisan, bukan karena adanya perbuatan melawan hukum,” tambahnya.

Saat ini pihak ahli waris mengaku sedang memperjuangkan keadilan subtantif agar permohonan PK II dapat diperiksa oleh MA dengan harapan MA memberikan kesempatan kepada ahli waris seperti MA memutus perkara PK pertama.

“Klien kami dihukum berdasarkan fakta yang pada saat itu diyakini benar oleh majelis hakim. Namun, kebenaran sesungguhnya kini telah terungkap melalui bukti-bukti yang tidak terbantahkan, yang baru kami temukan setelah perkara diputus,” tegasnya.

Dia menyebutkan penemuan novum bukti-bukti yang berkaitan sahnya kepengurusan almarhum Hakim Sitorus yang tercatat dan dikeluarkan oleh Lembaga Negara. Setelah putusan PK pertama, para pemohon menemukan serangkaian bukti baru (novum) yang bersifat sangat menentukan, yang membuktikan bahwa almarhum Hakim Sitorus adalah pengurus sah Koperasi.

Lukas mengatakan, bukti-bukti ini secara fundamental mengubah fakta hukum dalam perkara ini. Tuduhan bahwa almarhum mengangkat dirinya secara tidak sah kini terbukti keliru.

“Beliau adalah pengurus yang sah menurut dokumen otentik negara,” tambah Lukas.
Dia menegaskan, menolak kesempatan untuk memeriksa kembali kasus ini berdasarkan bukti baru ini sama saja dengan mengabaikan kebenaran.

Seperti diketahui, permohonan PK kedua yang diajukan para ahli waris ditolak oleh Pengadilan Negeri Bandung dengan alasan bahwa PK hanya dapat diajukan satu kali. Penolakan ini didasarkan pada kekakuan hukum acara yang mengesampingkan esensi dari pencarian keadilan itu sendiri. Para pemohon berargumen bahwa penolakan ini mengorbankan keadilan substantif demi formalitas prosedural.

Pemohon mendasarkan permohonan fatwa ini pada beberapa landasan kuat diantaranya Prinsip “Demi Keadilan” dalam SEMA No. 4 Tahun 2016, Surat Edaran Mahkamah Agung ini menekankan bahwa “Demi Keadilan”, PK kedua dapat diterima dalam kondisi tertentu, seperti adanya dua putusan yang saling bertentangan.

Para pemohon dalam mengajukan PK II didasari pada Pasal 67 huruf b Undang-Undang Mahkamah Agung mengenai PK boleh diajukan jika ditemukan bukti baru yang bersifat menentukan, dan Para Pemohon meganggap PK II ini sebagai PK I baginya, serta Para Pemohon berpendapat bahwa semangat keadilan dalam SEMA ini harus menjadi panduan utama. (ibs)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Back to top button