Sejak 1980-an RI Dihantam Black Campaign, Ekspor Sawit Bakal Merosot

INDOPOSCO.ID – Akibat ‘black campaign’ atau kampanye hitam yang dijalankan secara terstruktur, sistematis, dan massif oleh pihak tertentu, pemerintah diminta untuk mewaspadai penurunan daya saing ekspor komoditas alam Indonesia dalam jangka panjang. Tergerusnya daya saing ini lantaran serangan ‘black campaign’ yang ditujukan kepada faktor selera atau permintaan konsumen dan biaya pokok produksi.
Direktur Eksekutif Palm Oil Agribusiness Strategic Policy Institute (PASPI) Dr Tungkot Sipayung menjelaskan, kampanye hitam kepada komoditas alam seperti sawit dan produk kehutanan di Indonesia sudah berlangsung sejak 1980-an, ketika perkebunan dan kehutanan mulai berkembang. Seperti contoh sawit, ada kekhawatiran produsen minyak nabati nonsawit seperti minyak kedelai dan bunga matahari yang sulit bersaing dengan produktivitas minyak sawit.
“Saat ini, kelapa sawit dan kehutanan diserang kampanye hitam karena menggunakan isu yang mengada-ada dan berlebihan. Beragam isu tadi harus diwaspadai karena dapat menekan daya Indonesia di pasar internasional,” tandasnya.
Tungkot menambahkan, tekanan ‘black campaign’ kepada daya saing komoditas-komoditas unggulan ditujukan untuk aspek selera atau permintaan konsumen dan biaya pokok produksi. ”Harus diingat faktor selera masyarakat dan biaya pokok produksi ini menjadi jantung daya saing. Kampanye hitam berupaya menghantam melalui dua faktor tadi,” tegas Doktor jebolan IPB ini.
Pola dan isu ‘black campaign’, kata Tungkot, berupaya mempengaruhi perilaku orang supaya tidak lagi menggunakan komoditas alam yang merupakan salah satu kekayaan alam Indonesia. Kampanye ini membidik negara-negara konsumen seperti di Eropa, Tiongkok, dan India.
Nah untuk mengubah selera konsumen terhadap sawit misalkan, lanjut Tungkot, dimunculkan kampanye ‘palm oil free’ atau bebas minyak sawit di sejumlah produk makanan. ‘Black campaign’ ini didukung beragam isu yang memojokkan kelapa sawit seperti merusak ekosistem lingkungan, pembakaran secara masif hingga isu eksploitasi masyarakat lokal.
“Memang, jangka pendek dampak kampanye ini belum dirasakan. Tapi secara jangka panjang haruslah diwaspadai lantaran masyarakat berpotensi meninggalkan produk-produk alam nasional. Kalau produk sudah ditinggalkan, sangat sulit untuk mengajak orang kembali,” tandasnya.
Kemudian biaya pokok produksi akan meningkat sebagai dampak ‘black campaign’. ”Sejumlah NGO (Non Governmental Organization atau LSM, red) memaksakan tuntutan kepada perusahaan dengan kedok isu lingkungan dan sosial. Tuntutan ini dikemas sangat rapi dengan alasan prinsip sustainability. Padahal, kewajiban menjalankan tuntutan ini membuat biaya pokok produksi bertambah,” jelasnya.
Tungkot meminta pemerintah dan pelaku industri mewaspadai efek jangka panjang kampanye hitam LSM ini. Dikarenakan dampak kampanye sudah terlihat seperti penggunaan label ‘No Palm Oil’ di dalam negeri sampai usaha memberikan tekanan-tekanan kepada lembaga-lembaga sertifikasi nasional maupun internasional.
”Yang harus diwaspadai, tegas Tungkot, jejaring LSM asing yang beroperasi di Indonesia yang digunakan oleh kepentingan asing untuk menghantam Indonesia,” ujarnya.
Di tempat terpisah, Kasan Muhri, kepala Badan Pengkajian dan Pengembangan Perdagangan (BP3) Kementerian Perdagangan (Kemendag) RI menjelaskan, maraknya kampanye negatif ditujukan untuk menekan daya saing Indonesia di pasar internasional. Ini karena tingginya produktivitas komoditas dalam negeri seperti sawit yang menjadi ancaman bagi industri yang dihasilkan negara-negara di Uni Eropa.
“Sebenarnya, hambatan nontarif ini bagian persaingan dagang. Sawit, misalnya, ini head to head dengan minyak nabati lain di Eropa seperti minyak kedelai, minyak bunga matahari, dan kanola. Karena, minyak nabati non sawit ini kalah dari segi produktivitas dan harga. Akibatnya sawit terus diganggu dengan kampanye negatif,” tandanya.
Kasan menambahkan, kontribusi sawit terhadap ekspor nonmigas sebesar 13,6 persen sepanjang 2020. Capaian ini menunjukkan selama pandemi, industri sawit tetap tangguh. Sebab, kelapa sawit menjadi bagian dari bahan baku produk sektor makanan, kebersihan, dan kesehatan.
Meski demikian, di pasar internasional ekspor sawit Indonesia masih terus menghadapi tantangan dari hambatan nontarif seperti isu lingkungan dan kesehatan yang dikampanyekan sejumlah LSM internasional belakangan ini.
Kini, hambatan utama perdagangan sawit masih berasal dari kebijakan non-tarif terutama di Uni Eropa (UE). Maraknya kampanye negatif ditujukan menekan daya saing sawit. Lantaran, tingginya produktivitas minyak sawit menjadi ancaman bagi minyak nabati yang dihasilkan negara-negara di Uni Eropa.
Ketua Umum DPP Asosiasi Petani Kelapa Sawit Indonesia (Apkasindo) Dr (cn) Ir Gulat Manurung MPCAPO menegaskan, kampanye negatif dengan kedok lingkungan selama ini merupakan bagian politik dagang internasional. Tujuannya negara importir bisa membeli CPO (crude palm oil) dengan harga murah. Fakta lain yang perlu diketahui bahwa isu kampanye negatif tentang sawit berbanding lurus dengan impor dari negara-negara UE.
“Ketergantungan Uni Eropa terhadap minyak sawit sangatlah tinggi. Makanya, Eropa ingin membeli UE CPO Indonesia dengan harga semurah mungkin,” tegas kandidat Doktor Lingkungan ini.
Gulat menyatakan, Indonesia harus berani menyerang apabila sawit terus ditekan negara lain. Ibaratnya, ’berhenti menjadi penjaga gawang’ lalu beralih menjadi penyerang. Harus dipahami bahwa sebagian besar minyak kanola dan minyak bunga matahari dihasilkan oleh petani lokal di Eropa.
“Tak terbantahkan bahwa kampanye negatif tentang sawit bagian politik dagang. Produktivitas sawit yang jauh lebih tinggi membuat penggunaan lahan jauh lebih kecil dibandingkan minyak nabati lainnya. Kalau sawit di-phase out akan memicu deforestasi lebih tinggi untuk memenuhi kebutuhan dunia,” pungkasnya. (aro)