Lumbung Pangan dan Kemandirian Pangan Masyarakat

oleh: Agung S S Raharjo, MPA
INDOPOSCO.ID – Lumbung pangan merupakan lembaga penyedia cadangan pangan yang telah lama berkembang dan merupakan sebentuk kearifan lokal diperdesaan. Dalam konteks sosial budaya pertanian, keberadaan lumbung pangan awalnya murni sebagai lembaga yang difungsikan untuk menyimpan kelebihan panen dalam mengatasi masa paceklik. Masyarakat saat itu paham dan menandai secara berkala bahwa ada masa di mana lahan-lahan pertanian tidak akan memberikan kinerja produksi yang baik dan maksimal.
Rendahnya produksi pada musim kemarau, memaksa para petani untuk bisa menyisihkan sebagian panennya, sebagai stok cadangan, agar dapat dikonsumsi pada masa paceklik tiba. Dan pada kondisi tersebut keberadaan lumbung pangan menjadi sebuah mekanisme yang cukup efektif dalam menguatkan ketahanan pangan ditingkat rumah tangga maupun individu bahkan komunitas.
Melalui sistem pengelolaan yang lebih maju dan berdasar pada pola pengorganisasian yang modern, lumbung pangan dapat diandalkan sebagai subsistem dalam membangun ketahanan pangan masyarakat. Keberadaannya dalam menangani persoalan rawan pangan sangat strategis dan menyentuh pada tingkatan level sosial bawah.
Peranan Lumbung Pangan
Kelembagaan lumbung pangan masyarakat yang berada ditengah-tengah masyarakat, yang sebagian masih pada tingkatan sederhana dan berorientasi sosial, mempunyai potensi untuk dikembangkan dan direvitalisasi melalui proses pemberdayaan secara sistematis, utuh, terpadu dan berkesinambungan dengan melibatkan seluruh unsur terkait.
Upaya ini diharapkan akan mampu memberikan kontribusi yang signifikan terhadap perwujudan ketahanan pangan, dan pada waktu yang bersamaan menjadi lembaga sosial ekonomi masyarakat yang mendorong peningkatan kesejahteraan bagi anggota maupun masyarakat.
Pada tahap lanjut peranan lumbung pangan tidak hanya dalam menangani masalah kerawanan pangan semata. Namun kemudian lumbung pangan masyarakat dapat dikembangkan sebagai unit lembaga ekonomi perdesaan yaitu: (a) Lumbung pangan dapat menjadi lembaga yang memfasilitasi berkembangnya usaha budidaya dan agribisnis pangan seperti penyediaan sarana pertanian, modal, informasi teknologi pengolahan hasil, penampungan dan distribusi serta pemasaran hasil produksi pertanian pangan yang dikelola secara terorganisir, (b) Sebagai lembaga ekonomi masyarakat, lumbung pangan dapat mendukung pengembangan usaha di bidang budidaya tanaman pertanian dan non pertanian, (c) berperan dalam membantu anggotanya dalam membangun relasi kemitraan dengan lembaga ekstra desa, sektor swasta dan BUMN, dan (d) memberikan fasilitasi peningkatan kapasitas dan kemampuan anggotanya sesuai dengan kebutuhan pengembangan usaha mandiri atau kelompok sehingga akan mampu mendongkrak akumulasi modal (Jayawinata, 2003).
Revitalisasi dan Pemberdayaan
Ketahanan pangan merupakan salah satu isu strategis dalam proses pembangunan nasional, terlebih bagi negara seperti Indonesia yang berpenduduk besar dan dengan wilayah kepulauan. Jaminan ketersediaan dan aksesibilitas pangan bagi tiap individu tidak bisa dinafikan dan diabaikan begitu saja.
Sehubungan dengan hal tersebut, perhatian terhadap ketahanan pangan (food security) mutlak diperlukan karena terkait erat dengan ketahanan sosial (social security), stabilitas ekonomi, stabilitas politik dan keamanan (national security). Fisher (2009) mengemukakan padangannya bahwa dunia saat ini telah dihadapkan kepada kejadian perubahan iklim global dan berdampak pada penurunan produksi pangan dunia.
Sampai dengan 2050 produksi sereal dunia diperkirakan menurun satu persen, sementara pada periode yang sama penduduk dunia meningkat satu persen. Potensi terjadinya kerawanan pangan sangat terbuka dalam beberapa dekade mendatang. Belum ditambah dengan kondisi pandemik saat ini yang berpotensi pada pengketatan distribusi pangan oleh sebab kebijakan pangan masing-masing wilayah.
Memahami potensi masalah pangan global dimasa mendatang maka penguatan ketahanan pangan menjadi sebuah keniscayaan. Namun demikian upaya penguatan sistem ketahanan pangan bukan tanpa permasalahan salah satunya pada tingkatan masyarakat perdesaan. Lumbung pangan masyarakat sebagai sebentuk kearifan lokal kelembagaan penyediaan pangan telah mengalami pelemahan-pelemahan baik disebabkan faktor internal maupun eksternal.
Menurut Rachmat dkk (2011) keberadaan lumbung pangan cenderung menurun karena beberapa sebab, yaitu: (a) penerapan revolusi hijau yang mengintroduksikan teknologi padi unggul dan modernisasi pertanian dinilai tidak sesuai dengan lumbung tradisional masyarakat, (b) keberadaan Bulog yang berperan dalam stabilisasi pasokan dan harga pangan (gabah) di setiap wilayah pada setiap waktu menyebabkantidak ada insentif untuk menyimpan gabah, (c) globalisasi yang menyebabkan terbangunnya beragam pangan,termasuk pangan olahan sampai ke perdesaan, telah merubah pola konsumsi, dan (d) kegiatan pembinaan yang tidak konsisten dan cenderung orientasi proyek menyebabkan pembinaan yang dilakukan tidak efektif.
Melihat kenyataan serta bukti-bukti pada masa lalu, lumbung pangan telah berperan dalam membantu kelompok/masyarakat perdesaan dalam mengatasi masalah kekurangan pangan baik pada masa paceklik atau kondisi-kondisi lain yang berdampak pada kesulitan penyediaan pangan yang bersifat transien.
Pengembangan lumbung pangan di tingkat masyarakat pun dinilai strategis bagi daerah dengan potensi rentan rawan pangan yang menghadapi kendala akses pangan baik disebabkan oleh faktor fisik (keterjangkauan jarak) maupun dari sisi kemampuan daya beli (purchacing power).
Merevitalisasi kembali lumbung pangan merupakan satu langkah strategis dalam menguatkan ketahanan pangan masyarakat. Namun demikian, dalam konteks perkembangan jaman yang telah bertransformasi sedemikian rupa diperlukan satu sistem pengelolaan lumbung pangan yang lebih baik dan modern. Cara-cara pengelolaan tidak bisa lagi dengan model konvensional yang hanya berorientasi sosial dan terkesan berjalan seadanya.
Lumbung pangan sebagai sebuah kelembagaan harus mampu dikembangkan sebagai satu unit ekonomi yang menghadirkan peningkatan kesejahteraan bagi masyarakat. Di sinilah kemudian mindset pengelolaan lumbung yang bernilai ekonomi perlahan terus dikuatkan dan didukung. Petani kita yang rata-rata berpendidikan rendah dan berusia relatif tua membutuhkan pembinaan dan pendampingan yang intens.
Pemberdayaan yang dilakukan adalah pemberdayaan yang menghadirkan pembelajaran dan mengkapitalisasi pengalaman serta pengetahuan. Dalam hal ini modal sosial yang dimiliki oleh masyarakat akan sangat membantu dalam mengakslerasi keberhasilan.
Tidak semata penguatan pada sisi pemahaman, satu hal yang sangat dibutuhkan oleh mereka adalah kemudahan akses permodalan dan jejaring kerja sama. Pada tahap ini kehadiran pemerintah akan sangat membantu upaya pengembangan lumbung pangan dalam mencapai skala pengeloaan yang lebih luas dan menguntungkan. Misal tawaran permodalan (kredit) yang tidak semata pada usaha tani namun juga yang mendukung usaha ekonomi produktif kelompok.
Tentunya model yang ditawarkan tidak kemudian menutup potensi swadaya ditingkat masyarakat. Masyarakat tidak boleh dilihat sebagai objek ‘bantuan” yang lemah tanpa memiliki kekuatan modal apapun. Cara pandang ini tentu adalah salah. Lumbung pangan sekiranya perlu dikembangkan serta direvitalisasi melalui proses pemberdayaan secara sistematis, terpadu dan berkesinambungan.
Perubahan pola pengelolaan yang awalnya murni bersifat subsisten dan sosial kemudian beralih pada hal bersifat ekonomi (profit oriented) bukanlah persoalan yang mudah. Namun di sinilah peluang perubahan itu dapat dicapai dengan kesadaran partisipatif penuh baik dari petani maupun stakeholder yang terkait, baik itu pemerintah maupun swasta. Dan dengan kondisi tersebut kelembagaan lumbung pangan akan menuai kebermanfaan yang nyata bagi masyarakat perdesaan. Masyarakat memiliki kemandirian dalam penyediaan pangan tanpa bergantung sepenuhnya pada pemerintah.*
Penulis merupakan Analis Ketahanan Pangan, Badan Ketahanan Pangan, Kementerian Pertanian RI