DPRD Jakarta Gelar Diskusi Publik, Rany: Penting dalam Proses Demokrasi

INDOPOSCO.ID – Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Jakarta menggelar diskusi publik yang bertema “Penataan Daerah Pemilihan (Dapil) dan Alokasi Kursi DPRD Jakarta”, Rabu (8/10/2025).

Diskusi berlangsung di Ruang Rapat Paripurna DPRD Jakarta, lantai 3, Jalan Kebon Sirih, Jakarta Pusat.

Wakil Ketua DPRD Jakarta Rany Mauliani membuka acara.

Diskusi itu sebagai akses jendela ilmu terkait proses demokrasi, khususnya di Jakarta. “Kegiatan ini merupakan bagian penting dalam proses demokrasi,” ujar Rany.

Hadir dalam diskusi tersebut, Wakil Ketua DPRD DKI Jakarta Wibi Andrino dan Basri Baco, anggota dewan perwakilan sembilan fraksi, dan Kepala Badan Kesatuan Bangsa dan Politik (Kesbangpol) Muhamad Matsani dan jajaran.

Acara itu menghadir empat pembicara. Yaitu, Wakil Ketua DPRD DKI Jakarta Wibi Andrino, Direktur Jendral Politik dan Pemerintahan Umum Kementerian Dalam Negeri RI Bahtiar, Anggota Komisi Pemilihan Umum Republik Indonesia selaku Ketua Divisi Teknis Idham Holik, dan Peneliti Pusat Studi Partai Politik dan Pemilu (PSP3) Universitas Muhammadiyah Jakarta Sumarno.

Dalam kesempatan itu, Wakil Ketua DPRD DKI Jakarta Wibi Andrino fokus pada penentuan jumlah kursi anggota dewan tidak semestinya berdasarkan jumlah penduduk.

Pertimbangan lainnya bisa berdasar indikator kesejahteraan dan kebutuhan wilayah. “Kita harus melihat satu indikator kesejahteraan,” ujar Wibi.

Menurut dia, dunia politik saat ini tengah menghadapi tantangan berupa peningkatan sinisme publik terhadap lembaga politik.

Karena itu, kinerja nyata sangat penting untuk mengembalikan kepercayaan masyarakat. “Kepercayaan publik ini harus dikembalikan,” ungkap dia.

Peningkatan jumlah kursi belum tentu berbanding lurus dengan peningkatan kesejahteraan warga.

Dalam pembahasan revisi Undang-Undang Pemilu, pemerintah dan DPR dapat mempertimbangkan pendekatan yang lebih komprehensif dalam menentukan jumlah kursi legislatif.

“Tidak hanya menghitung jumlah jiwa saja dalam penentuan jumlah kursi. Tetapi juga melihat proporsi wilayah dan kebutuhan terhadap penyelesaian masalah,” tutur Wibi.

Ia mencontohkan, perhitungan jumlah kursi bisa didasarkan pada kondisi sosial ekonomi tiap wilayah.

“Contoh misalnya, di Kecamatan Cakung. Masyarakat miskinnya ada sekian. Dengan hadirnya anggota sekian, bisa menyelesaikan masalah itu,” ucap Wibi.

Wibi juga mengangkat perihal kemunculan wacana pembentukan DPRD tingkat II. Menurut dia, perlu pengkajian mendalam. Tidak boleh menjadi keputusan politis semata.

Keberadaan lembaga dimaksud harus benar-benar berdasarkan kebutuhan masyarakat. “Kalau ternyata itu adalah suatu kebutuhan, why not? Tapi pertanyaan, apakah itu kebutuhan? Hitung-hitungannya seperti apa?” ucap Wibi.

Kajian yang komprehensif sangat penting sebelum menambah struktur lembaga legislatif baru. Setiap rencana pembentukan DPRD tingkat II, perlu memperhatikan berbagai indikator kebutuhan masyarakat.

“Kita jangan malas dalam melakukan satu crossing indicator kebutuhan daripada masyarakat. Kita harus melibatkan partisipasi masyarakat,” tutur Wibi.

Partisipasi publik, tegas dia, menjadi kunci utama agar kebijakan tersebut tidak menambah beban birokrasi tanpa memberikan manfaat nyata bagi masyarakat.

“Masyarakat butuhnya apa dengan hadirnya sosok-sosok anggota dewan? ketika bertambah kursi, apakah itu memang benar-benar kebutuhan masyarakat?,” ucap Wibi.

Ia juga mengingatkan, masih banyak warga yang belum sepenuhnya memahami peran dan fungsi anggota dewan. Karena itu, perlu evaluasi terhadap efektivitas lembaga legislatif terlebih dahulu.

Pada kesempatan yang sama, Direktur Jendral Politik dan Pemerintahan Umum Kementerian Dalam Negeri RI Bahtiar menyatakan, perolehan kursi harus mengacu pada Undang-Undang Pemilu yang berlaku.

Jika belum direvisi, maka penentuan jumlah kursi DPRD DKI Jakarta tetap mengacu pada UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum.

Dalam Pasal 188 ayat (2) dijelaskan, apabila provinsi dengan jumlah penduduk 9 juta sampai dengan 11 juta memperoleh alokasi 85 kursi.

Sedangkan bila penduduk lebih dari 11 juta sampai dengan 20 juta dapat memperoleh alokasi 100 kursi.

“Sekarang kita buka Undang-Undang Pemilu. Di sana menyatakan itu kalau penduduknya 11 juta sampai dengan 20 juta 100 kursi, itulah hukum tersedia hari ini,” pungkas Bahtiar.

Sementara itu, Peneliti Pusat Studi Partai Politik dan Pemilu (PSP3) Universitas Muhammadiyah Jakarta Sumarno menilai, wacana pembentukan DPRD tingkat II adalah hal yang sah.

Selama tidak menyalahi aturan berlaku.

“Gagasan DPRD di tingkat kabupaten kota dan sebagainya bisa saja berkembang. Sah-sah saja. Apalagi di dalam politik,” ungkap dia.

“Politik itu tidak ada yang baku. Jadi boleh-boleh saja sepanjang tidak menafikan hukum positif yang sudah berlaku,” tutur Sumarno.

Sedangkan Ketua KPU Jakarta Wahyu Dinata menegaskan, penentuan jumlah kursi DPRD akan kembali mengacu pada UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu dan Data Agregat Kependudukan (DAK) 2 yang digunakan pada Pemilu 2024.

Meski demikian, sebut Wahyu, terdapat peluang perubahan lewat revisi UU Pemilu.

“Kita lihat nanti revisinya seperti apa. Kalau tidak ada perubahan, otomatis kembali ke undang-undang lama,” ujarnya.(adv)

Exit mobile version