Outlook Defisit Capai 2,78 Persen PDB, Risiko Nyata Keberlanjutan Fiskal

INDOPOSCO.ID – Pekan ini publik dikejutkan oleh laporan Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani bahwa outlook defisit 2025 diperkirakan melebar menjadi 2,78 persen dari PDB (Produk Domestik Bruto), di atas asumsi awal sebesar 2,29 persen.
Hal ini terjadi karena pendapatan negara diprediksi hanya mencapai Rp2.865,5 triliun, atau 95,4 persen dari target awal Rp3.005,1 triliun. Ekonom Achmad Nur Hidayat mengatakan, dalam Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) 2025, pemerintah menargetkan total utang baru mencapai Rp729 triliun untuk menutup defisit dan pembiayaan lainnya.
Namun, menurutnya, realita menunjukkan bahwa beban pembayaran bunga utang sudah menembus Rp522,8 triliun pada 2024, dan berpotensi naik lagi pada 2025.
“Artinya, hampir 20 persen dari seluruh belanja negara hanya untuk membayar bunga utang, bukan untuk pembangunan, kesehatan, atau pendidikan rakyat,” ujar Achmad melalui gawai, Kamis (24/7/2025).
“Jika ditambahkan cicilan pokok utang jatuh tempo yang mencapai Rp1.062 triliun di 2025, maka total kewajiban utang (pokok plus bunga) sudah di atas Rp1.500 triliun,” sambungnya.
Angka tersebut, menurutnya, setara dengan lebih dari separuh pendapatan negara. Sebuah proporsi yang tidak wajar untuk negara berkembang dengan tingkat kemiskinan dan ketimpangan yang masih tinggi.
Lebih jauh ia menjelaskan, banyak ekonom birokrat mengatakan defisit 2,78 persen PDB aman, karena masih di bawah batas 3 persen UU Keuangan Negara. “Kita perlu kritis. Batas 3 persen adalah angka administratif, bukan angka optimal yang mencerminkan keberlanjutan fiskal jangka panjang,” jelasnya.
Ia menegaskan, dengan total utang yang telah menembus Rp10.269 triliun dan rasio 40,19 persen PDB pada 2024, risiko fiskal Indonesia semakin besar. Utang ini naik hampir Rp800 triliun hanya dalam satu tahun, yang mayoritas digunakan untuk menutup defisit dan membayar utang jatuh tempo, bukan untuk pembiayaan pembangunan strategis jangka panjang.
“Sebagai perbandingan, pada 2014 total utang pemerintah baru Rp2.600 triliun (24,7 persen PDB). Ini Artinya, dalam satu dekade, utang Indonesia meningkat hampir 4 kali lipat, sementara tax ratio stagnan di kisaran 9–10 persen,” ungkapnya.
Kondisi ini, dikatakan dia, menimbulkan fiscal stress, karena ruang fiskal untuk belanja produktif semakin sempit akibat pembayaran bunga utang yang terus membengkak. “Memang masih di bawah Maastricht Treaty 60 persen, tetapi perlu diingat bahwa tax ratio Indonesia masih di bawah 10 persen, sedangkan negara-negara OECD yang rasionya 60 persen memiliki tax ratio di atas 25 persen. Artinya, kemampuan bayar utang kita jauh lebih rendah,” ujarnya. (nas)