Gawat, Cadangan Devisa Anjlok USD 4,6 Miliar Setara Anggaran MBG 2025

INDOPOSCO.ID – Per Mei 2025, Bank Indonesia (BI) mencatatkan penurunan cadangan devisa sebesar USD 4,6 miliar dibandingkan posisi bulan sebelumnya. Secara nominal, angka ini setara dengan lebih dari Rp80 triliun, jumlah yang bahkan sebanding dengan anggaran Program Makan Bergizi Gratis (MBG) yang menjadi prioritas fiskal nasional tahun ini.
“Penurunan ini (cadangan devisa) bukan sekadar fluktuasi biasa, melainkan sinyal serius yang menunjukkan tekanan terhadap fondasi makroekonomi Indonesia yang harus direspons secara strategis dan mendalam oleh otoritas moneter,” ujar Ekonom Achmad Nur Hidayat melalui gawai, Sabtu (10/5/2025).
Ia mengatakan, sebagai benteng pertahanan utama dalam menjaga stabilitas nilai tukar rupiah dan persepsi pelaku pasar terhadap kredibilitas kebijakan ekonomi nasional, cadangan devisa yang menurun dalam jumlah signifikan patut dikhawatirkan.
“Cadangan devisa bukan hanya angka di atas kertas, melainkan simbol kepercayaan internasional terhadap perekonomian Indonesia dan alat intervensi riil bagi stabilitas eksternal,” jelasnya.
Ia menyebut, ada tiga alasan mengapa penurunan sebesar USD 4,6 miliar ini tidak bisa dianggap remeh. Dalam konteks global, ketegangan geopolitik di Timur Tengah dan kebijakan suku bunga tinggi The Fed masih mendominasi sentimen pasar keuangan.
Lalu, lanjutnya, dari sisi domestik, pelemahan nilai tukar rupiah terhadap dolar AS telah mendorong intervensi agresif BI (Bank Indonesia) di pasar valas. Dan ini berkontribusi besar terhadap penurunan cadangan devisa.
“Besarnya repatriasi dividen dan pembayaran utang swasta yang jatuh tempo pada kuartal kedua turut menekan posisi devisa,” katanya.
Lebih jauh ia mengungkapkan, pada momentum ini BI harus melakukan introspeksi kebijakan dan memperkuat empat pilar ketahanan devisa secara sistemik. Dengan penguatan manajemen ekspektasi nilai tukar.
“Sejauh ini, intervensi BI di pasar valas tampak reaktif terhadap gejolak nilai tukar harian,” ungkapnya.
“BI perlu menyeimbangkan antara daya tarik aset rupiah dan keberlanjutan pertumbuhan ekonomi domestik,” ujarnya.
“Sebab, tekanan nilai tukar tanpa koordinasi dengan kebijakan fiskal dan struktur pasar keuangan bisa berujung pada stagnasi ekonomi yang kontraproduktif,” sambungnya. (nas)