Ramadan: Jangan Mendadak “Bagong”

Oleh: Agung SS Raharjo
INDOPOSCO.ID – Badan pangan dunia (FAO) pada tahun 2016 merilis data fakta yang cukup miris, bahwasannya hampir sepertiga jumlah pangan yang diproduksi dunia menjadi food lose (hilang) dan food waste (terbuang). Tercatat jumlah pangan yang hilang dan terbuang tersebut mencapai 1,3 miliar ton atau setara nilai USD1 triliun setiap tahunnya. Dan menurut FAO (2018), sumber dari persoalan pangan yang terjadi di negara berkembang lebih banyak terjadi pada tahap pre-consumption, sementara di negara maju lebih banyak terjadi pada tahap consumption. Economist Intelligence Unit pada tahun 2016 pun memberitakan hal serupa tentang food waste, berdasar informasi yang dipublis fakta menunjukkan bahwa orang Indonesia rata-rata menghasilkan sampah makanan hingga 300 kg per orang tiap tahun. Angka ini menempatkan Indonesia sebagai runner-up pemborosan makanan setelah Arab Saudi dengan rata-rata angka sebesar 427 kg makanan per orang per tahun. Tentunya hal ini perlu mendapatkan perhatian yang serius dari pemerintah agar mencegah pemborosan dan pembuangan pangan terus terjadi.
Fenomena pemborosan pangan di negeri ini telah mengundang rasa miris tersendiri. Dalam tata nilai sosial dan religi pun perilaku tersebut sama sekali tidak bisa dibenarkan. Terlebih kemudian dihadapkan pada peristiwa kehidupan lain yang menimbulkan paradoksal yaitu kemiskinan dan kelaparan. Dalam laporan Global Hunger Indeks (GHI) tahun 2020, Indonesia mencatatkan capaian sejarahnya lolos dari level “serius” dan masuk dalam kategorii moderat. Indonesia meraih skor 19,1 dan berada pada urutan ke 70 dari total 107 negara. Posisi peringkat Indonesia terhitung lebih baik dari Kamboja, Myanmar dan India. Namun masih tertinggal dari Thailand, Malaysia dan Philipina bahkan dengan Vietnam. Capaian ini pada satu sisi perlu mendapat apresiasi dan disaat yang sama menjadi titik tolak evaluasi atas pola konsumsi yang telah menjadi kebiasaan bahkan membudaya di negeri ini.
Mendadak “Bagong”
Food waste, menurut WHO, didefinisikan sebagai makanan yang siap dikonsumsi namun dibuang tanpa alasan atau makanan tersebut telah mendekati masa kadaluarsa. Sedangkan istilah food loss sendiri diartikan sebagai sebuah kindisi hilangnya sejumlah pangan antara rantai pasok produsen dan pasar. Food loss sendiri disebabkan oleh banyak faktor misalkan pada proses pra-panen, permasalahan dalam penyimpanan, penanganan, dan lainnya.
Berfokus pada persoalan pemborosan pangan (food waste) dinegeri ini, ada fenomena klasik yang masih saja kita temui pada momen Ramadan. Bulan Ramadan dimana umat muslim diwajibkan atasnya berpuasa, bersabar menahan lapar dan dahaga ternyata tidak selalu demikian adanya ketika menjelang berbuka. Dapat kita temui sebagian diantara kita yang begitu antusias menyiapkan menu berbuka hingga terkadang tidak sadar jika sudah terlalu berlebihan. Obsesi untuk menikmati beragam menu, berujung pada pemborosan dan kesia-sian. Sedangkan kapasitas perut sangat terbatas untuk memenuhi unsur makanan, minuman dan udara. Akibat “kerakusan’ sesaat tersebut tetiba fisiologis perut sebagian diantara kita bertansformasi menjadi perut “bagong” akibat kekenyangan. Alih-alih akan menjadi sehat, yang terjadi justru membawa potensi penyakit tersendiri.
Imam Syafi’I pernah berkata, dalam Siyar A’lam An-Nubala, “Karena kekenyangan (memuaskan nafsu perut dan mulut) membuat badan menjadi berat, hati menjadi keras, menghilangkan kecerdasan, membuat sering tidur dan lemah untuk beribadah.”
Puasa Ramadan yang semestinya mampu menjadi kontrol atas konsumsi pangan yang seringkali berlebihan namun ternyata tidak demikian adanya. Konsumsi rumah tangga menjadi penyumbang pemborosan makanan yang cukup besar di bulan Ramadan. Dan ini menjadi problematika klasik yang terus saja terjadi berulang kali. Bantargebang Integrated Waste Treatment Site, berdasarkan data mencatatkan peningkatan sampah makanan hingga 10% selama bulan Ramadan. Bahkan pernah ditemui kondisi, pada hari pertama puasa, tercatat ada tambahan sampah sebanyak 864 ton.
Kesadaran Diri
Ramadan bertujuan membentuk insan bertakwa (la’allakum tattaqun). Esensi ketakwaan salah satunya adalah menjadi insan yang tidak berlebihan (tabzir) dalam berperilaku. Karena menjadi orang yang berperilaku boros mubadzir, dalam segala sesuatunya, tidak dibenarkan dalam Islam tak terkecuali persoalan pangan. Larangan bersikap boros memberikan pelajaran pentingnya untuk bersikap adil terhadap diri sendiri dan orang lain.
Pangan adalah kebutuhan setiap manusia dan pemenuhannya merupakan hak asasi yang tidak boleh diganggu. Negara harus memberikan jaminan atas pemenuhan ketersediaan dan keterjangkauannya sampai pada tingkat individu. Oleh karena itu perilaku food waste yang masih sering terjadi bahkan sering dianggap hal lumrah, harus dapat dikurangi sedemikian rupa.
Kesalihan pribadi harus beriring dengan kesalihan sosial. Ramadan menjadi momen bagi setiap rumah tangga dan individu untuk kembali merefleksikan kesadaran-kesadaran religious yang bernilai universal. Dimana letak kepekaan kita disaat yang lain begitu sulit mencari makan sedang kita “berpesta” sampai kekenyangan. Begitu indah terasa jika mampu menahan diri dan memberikan peran bagi penguatan ketahanan pangan dinegeri sendiri. Ramadan adalah jalan membangun rasa kepedulian. Stop food waste, dan mulailah berlaku adil memenuhi kebutuhan pangan keluarga. Secukupnya tidak perlu berlebihan.
Penulis:
Analis Ketahanan Pangan Ahli Muda
Pada Badan Ketahanan Pangan, Kementerian Pertanian