Ekonom Nilai Perlu Evaluasi Kebijakan yang Ditempuh BI, Pasca Depresiasi Rupiah
INDOPOSCO.ID – Nilai tukar rupiah yang berada di level Rp16.150 per dolar AS pada Jumat (10/1/2025) kemarin perlu dilakukan evaluasi mendalam terhadap efektivitas langkah-langkah yang selama ini diambil Bank Indonesia (BI).
Pernyataan tersebut diungkapkan Ekonom Achmad Nur Hidayat dalam keterangan, Sabtu (11/1/2025). Ia mengatakan, kebijakan mempertahankan suku bunga kebijakan di level yang cukup tinggi belum mampu menahan depresiasi rupiah. Sekaligus memberikan tekanan besar pada sektor riil, termasuk pengusaha dan kelas menengah.
“BI dan pemerintah telah identifikasi beberapa faktor global, seperti terpilihnya kembali Donald Trump sebagai Presiden Amerika Serikat dan penguatan indeks dolar (DXY), sebagai penyebab pelemahan rupiah,” ungkapnya.
Namun, lanjut dia, ada beberapa strategi yang dapat diterapkan oleh BI dan pemerintah untuk menjaga stabilitas rupiah. Langkah BI mempertahankan suku bunga kebijakan di level tinggi, menurutnya, bertujuan menarik modal asing dan menekan inflasi.
“Langkah ini tampaknya sudah mencapai titik jenuh dalam efektivitasnya. Ketergantungan pada suku bunga tinggi justru memperlambat laju pertumbuhan ekonomi, menekan daya beli masyarakat, dan membebani dunia usaha,” jelasnya.
Ia menyebut, jika dibandingkan dengan negara-negara kawasan, seperti Thailand yang mempertahankan suku bunga acuan di level 2.50 persen dan Malaysia di 3.00 persen, suku bunga BI 7-Day Reverse Repo Rate (BI7DRR) yang saat ini berada di level 6.00 persen menunjukkan perbedaan yang signifikan.
Meski suku bunga ini bertujuan menarik arus modal asing dan menahan inflasi, menurut dia, efektivitasnya dalam menjaga stabilitas nilai tukar rupiah tetap diragukan. Mengingat nilai tukar masih melemah hingga Rp16.120 per dolar AS. “Kebijakan ini menambah tekanan pada sektor riil tanpa hasil yang sebanding dalam stabilitas pasar valuta asing,” ucapnya.
Dalam konteks ini, masih ujar dia, Bank Indonesia perlu berinovasi dan keluar dari pendekatan konvensional. Kebijakan moneter harus lebih fleksibel dan adaptif terhadap perubahan situasi global.
Misalnya, dikatakan dia, BI dapat lebih proaktif dalam mendorong penggunaan instrumen derivatif valas untuk manajemen risiko bagi pelaku usaha. Kemudian memperluas penerapan sistem pembayaran yang sederhana untuk menarik investasi langsung. Atau menjalin kerja sama dengan bank sentral di negara-negara mitra dagang untuk memperkuat likuiditas rupiah dalam perdagangan internasional.
“Langkah intervensi pasar valas yang dilakukan BI perlu diimbangi dengan diversifikasi cadangan devisa ke instrumen yang lebih likuid dan strategis. Pendekatan ini akan memberikan fleksibilitas lebih besar bagi BI dalam menghadapi volatilitas pasar,” ujarnya.
Di sisi lain, masih ujar dia, pemerintah harus mengambil langkah konkret untuk mendukung stabilitas rupiah. Mengandalkan fundamental ekonomi yang kuat saja tidak cukup, jika tidak diiringi dengan kebijakan yang mendukung efisiensi dan daya saing.
Menurutnya, dengan neraca perdagangan yang saat ini tertekan oleh ketergantungan pada barang impor, diversifikasi ekonomi menjadi langkah yang sangat mendesak. Pemerintah perlu mendorong hilirisasi industri yang berbasis sumber daya alam lokal untuk meningkatkan nilai tambah ekspor.
“Investasi asing langsung (Foreign Direct Investment/FDI) juga perlu difokuskan pada sektor-sektor strategis yang memberikan dampak jangka panjang terhadap perekonomian,” bebernya.
Ia menambahkan, reformasi birokrasi dan penyederhanaan regulasi harus lebih diarahkan untuk mendorong kolaborasi antara investor asing dan lokal. Juga untuk menciptakan lapangan kerja dan mengurangi ketergantungan pada barang impor.
“Pemerintah bisa mengeksplorasi instrumen fiskal baru untuk mendukung stabilitas rupiah. Misalnya, penerapan insentif fiskal berbasis kinerja bagi eksportir yang mampu meningkatkan penerimaan devisa secara signifikan atau pemberlakuan kebijakan wajib valas bagi perusahaan yang memiliki penghasilan dalam dolar,” ujarnya. (nas)