DPD Ingatkan Pemerintah soal Bahaya Emisi Karbon Batu Bara

INDOPOSCO.ID – Wakil Ketua Dewan Perwakilan daerah (DPD) RI Sultan Baktiar Najamudin mengingatkan pemerintah agar konsisten menjalankan kebijakan energi hijau (green energy). Yakni, dengan menekan penggunaan batubara, utamanya sebagai pembangkit tenaga listrik. Penggunaan batubara memiliki dampak paling buruk dibanding bahan bakar fosil lainnya. Bahkan, bisa menyebabkan kematian.
Pemerintah Indonesia tengah mendorong penggunaan energi hijau sebagai bentuk kontribusi terhadap pengurangan emisi karbon yang ditetapkan dalam Paris Agreement. Untuk mewujudkan itu, saat ini Pemerintah tengah mempertimbangkan untuk menghapus peredaran BBM dengan kadar octan di bawah 92 persen seperti jenis premium dan Pertalite.
Namun di saat yang sama, tahun lalu pemerintah mengalokasikan batu bara untuk kebutuhan dalam negeri sebesar 137,5 juta ton atau sekitar 22 persen dari target produksi batu bara nasional pada 2021 sebesar 625 juta ton.
Khusus untuk kebutuhan pembangkit Listrik tenaga uap (PLTU), dalam Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) Perusahaan Listrik Negara (PLN) 2021-2030, proyeksi kebutuhan bahan bakar batubara PLN di tahun 2021 sebesar 111 juta ton. Kemudian, kebutuhan batubara mengalami tren kenaikan mulai dari 2022 sebesar 115 juta ton hingga 2024 menjadi 131 juta ton.
Sultan mendorong Pemerintah untuk konsisten menjalankan kebijakan green energy dengan melakukan langkah-langkah konkrit dalam menekan penggunaan bahan bakar batu bara. Terutama sebagai pembangkit energi listrik.
“Harus kita sadari bahwa, batu bara diketahui yang paling besar dampaknya dari semua jenis bahan bakar fosil, dampaknya bahkan bisa menyebabkan kematian, apalagi di tengah suasana pandemi seperti saat ini. Namun pemerintah belum terlihat konsisten dengan orientasi kebijakan energi yang ramah lingkungan,” ujar dia, melalui keterangan resminya, Selasa (4/1/2022).
Baca Juga: Langgar Mekanisme DMO Batu Bara, Jokowi Ancam Sanksi Cabut Izin Usaha
Sultan pun menerangkan, pada 2020 saja, pembangkit listrik berbasis batu bara milik PT PLN masih menjadi yang terbesar atau mencapai 66,81 persen dari total 275 terawat. Angka ini diperkirakan akan terus meningkat hingga beberapa tahun ke depannya.
“Kita menghargai keputusan bisnis PLN yang memilih untuk menggunakan energi murah, tapi kita lupa jika Indonesia merupakan salah satu negara dengan sumber daya panas bumi terbesar di dunia, berikut potensi energi baru terbarukan lainnya,” jelas mantan Ketua Badan Pengurus Daerah (BPD) Himpunan Pengusaha Muda Indonesia (Hipmi) Bengkulu itu.
Menurut data yang dihimpunya, tambah Sultan, realisasi subsidi listrik tahun 2021 sebesar Rp53,59 triliun sesuai APBN, tidak jauh berbeda dengan belanja subsidi pemerintah untuk BBM dan LPG 3 kg senilai Rp54,4 triliun di tahun yang sama.
“Artinya, secara proporsional, pendekatan kebijakan terhadap kedua jenis energi fosil ini harus diterapkan secara bersama-sama berbasis tingkat polusinya. Meskipun itu akan berkonsekuensi langsung pada kenaikan tarif dasar listrik,” kata dia.
“Kami sangat mengapresiasi kebijakan pajak karbon yang ditetapkan oleh Ibu Menteri Keuangan. Tapi jika itu tidak direalisasikan secara konsisten dan proporsional tentu akan mengganggu geliat pemulihan dan pertumbuhan ekonomi nasional. Kami ingin mengatakan bahwa, daripada hanya mewacanakan penghapusan premium dan Pertalite dan menyebabkan inflasi, pemerintah sebaiknya juga harus lebih fokus pada agenda pengurangan penggunaan batu bara dalam jangka panjang, jika ingin mewujudkan kualitas udara yang bersih,” tutup Sultan.
Saat ini, Pemerintah melalui Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) bahkan secara resmi telah mengeluarkan kebijakan larangan ekspor batu bara selama Januari 2022 guna memenuhi kebutuhan energi dalam negeri, terutama bagi kebutuhan pembangkit energi listrik.
Kebijakan ini pun langsung menuai protes dari pengusaha batu bara yang sedang menikmati harga tinggi batu bara ekspor. Dan juga dinilai mengganggu kontrak bisnis antara eksportir dan negara penerima. (arm)