Pajak Saeutikna

INDOPOSCO.ID – “Menkeu Sri Mulyani harus menonton video ini tiga kali”. Itu komentar netizen sambil memosting video KDM –Kang Dedi Mulyadi, gubernur Jabar.
Mungkin Sri Mulyani sudah melihatnya lima kali. Tapi bisa jadi menkeu terlama Indonesia itu menganggap video KDM dimaksud tidak masuk akal.
Setidaknya tidak pas untuk diterapkan di level mengurus negara.
Tapi jalan pikiran rakyat pada umumnya sangat cocok dengan apa yang dikatakan KDM: mengurus negara itu tidak ubahnya dengan mengurus rumah tangga. Skalanya saja yang sangat besar.
Betapa memikat kata-kata KDM bagi rakyat banyak: “Pemimpin jangan hanya berpikir tentang pendapatan,” kata KDM. “Kalau pemimpin di pikirannya hanya bagaimana meningkatkan pendapatan pada akhirnya hanya akan menaikkan pajak,” katanya. “Itu hanya menyusahkan rakyat,” tambahnya.
Mungkin ucapan KDM itu bukan untuk Sri Mulyani. Rasanya lebih kepada para bupati. Terutama yang belakangan menaikkan pajak bumi dan bangunan. Seperti yang heboh besar di Pati (lihat Disway 15 Agustus 2025: Demo Sengkuni).
Padahal ternyata Pati hanyalah ”nasib sial”. Masih banyak bupati dan wali kota lain yang menaikkan tarif PBB. Tapi mereka bernasib baik. Diam-diam, ”hub!”, sudah naik. Tidak pakai menantang didemo besar-besaran.
Akar mereka sama: kian menurunnya uang subsidi pusat ke daerah. Maka para kepala daerah seperti yang diceritakan KDM: terus memikirkan bagaimana cara menaikkan pendapatan.
Padahal, kata KDM, para kepala daerah harus bisa belajar dari ibu mereka. Yang mungkin SD pun tidak tamat. Yakni di zaman para kepala daerah itu masih kecil. Apalagi kalau sang ibu single parent. Punya anak banyak. Tidak punya pekerjaan tetap. Pendapatan serba tidak cukup. ”Subsidi” pusat bukan saja menurun, tapi hilang sama sekali. Begitu suami meninggal ”subsidi pusat” itu ikut meninggal.
Sang ibu tetap saja harus membangun kehidupan anak-anaknya. Targetnya pun tetap tinggi: semua anaknya harus bisa sekolah. Harus sampai lulus. Bahkan harus jadi sarjana.
Imajinasi KDM tentang sosok ibundanya sangat dalam. Rupanya ia bagian dari penderitaan ibunya.
Sang ibu tetap bisa membiayai anaknya sampai lulus sarjana. Dengan berbagai penghematan yang dilakukan. Kalau perlu dengan cara sang ibu sendiri mengorbankan segala-segalanya untuk anaknya. Termasuk pura-pura sudah makan, agar sang anak lebih dulu bisa dapat makanan.
Begitu pula masa kecil KDM. Ia bungsu dari sembilan bersaudara. Ibunya janda. Ia harus menggembala kambing di desanya: Sukasari, Dawuan, Subang.
Mungkin karena yang jadi contoh seorang ibu, maka konotasi netizen pada Sri Mulyani. Tapi ”ibu” yang dimaksud KDM adalah ”ibu” daerah. Kepala daerah.
Intinya, di saat pendapatan berkurang, seperti sekarang, kepala daerah harus pandai menggunakan anggaran yang ada. Seperti seorang ibu dari keluarga yang tidak berkecukupan. Keinginan memajukan daerah tidak boleh terhambat oleh kurangnya dana.
Caranya: belanjalah secara tepat. Jangan buang uang untuk yang kurang penting –hanya karena sudah telanjur dianggarkan. Atau karena anggaran sudah telanjur disetujui dan disahkan.
KDM sendiri mengaku menggunakan cara ”ibu” itu dalam memimpin Jabar.
“Uang kabupaten tidak boleh keluar dari kabupaten. Pendapatan dari kabupaten harus untuk membangun kabupaten,” katanya. “Saya sendiri tidak pernah pergi jauh. Paling jauh hanya ke Jakarta,” ujar KDM.
Maka di bulan proklamasi Agustus ini KDM minta para bupati untuk menghapus tunggakan PBB bagi semua rakyat mereka. Tunggakan sejak kapan pun. Sampai tahun 2024. “Itu sepenuhnya wewenang bupati wali kota,” katanya.
KDM sudah mencontohkan menghapus tunggakan pajak kendaraan bermotor. Di seluruh Jabar. Ia konsisten dengan apa yang ia ucapkan.
Kehadiran KDM memang membuat banyak gubernur ”mati angin”. Salah tingkah. Terutama ketika dibuli rakyat mereka –mengapa tidak bisa jadi gubernur seperti KDM.
Saya mengenal KDM sejak lama. Sejak sebelum menjadi bupati Purwakarta.
Pun ketika jadi bupati. Saya beberapa kali bertemu dengannya. Sama.
Orangnya seperti itu. Bukan dibuat-buat. Bukan baru sekarang. Orisinal.
Maka gubernur lain tidak perlu meniru KDM. Akan jadi aneh. Tidak wajar.
Dan terasa palsu. Memang para gubernur akan tetap ”di-Farel-kan” dengan KDM. Tidak ada jalan lain: semua gubernur harus sangat berprestasi –dengan cara mereka sendiri-sendiri. Pun para bupati dan wali kota.
Dulu kita melihat Jokowi dengan gaya blusukannya –entah orisinal atau tidak. Kini kita melihat berkali-kali lipat Jokowi pada diri KDM dengan orisinalitasnya.
Asli pisan. (Dahlan Iskan)
Komentar Pilihan Dahlan Iskan Edisi 19 Agustus 2025: de-Kock Andani
djokoLodang
-o– … Ketika Pangeran Diponegoro ditipu dan ditangkap Belanda Gubernur Jendralnya sudah dijabat de Kock. … *) Pantas lah de Kock menggunakan tipuan. – “dekok” (kosakata jawa –kadang ditulis “dhekok”) artinya adalah cekung atau berlubang. Digunakan untuk menggambarkan suatu benda atau permukaan yang tidak rata. Ada cekungannya. –koJo.-
Denny Herbert
MERDEKA MOLEKUL. Hebat… dari 150 tes jadi 1.500 tes sehari. Dr. Andani ini bukan cuma dokter, tapi kayak “chef molekul” yang masaknya hasil penelitian. Bikin PCR sendiri, bikin deteksi kanker, TB, sampai pneumonia—semua bisa! Kalau begini, rasanya Indonesia nggak cuma bisa mandiri beras… bisa mandiri enzim juga! Salut, dok — semangatnya kayak Dr. Achmad Mochtar versi abad digital. Semoga bangsa kita menjadi bangsa MANDIRI di segala bidang. Bukan bangsa yg konsumtif tapi bangsa yg produktif. Seperti yg dicita2kan Abah dalam MANUFACTURING HOPEnya.
djokoLodang
-o– … Belum ada nama Bukittinggi di tahun itu. Nama Bukittinggi baru muncul setelah Jepang menguasai Sumbar. Barulah saat itu pemukiman kecil di sekitar Fort de Kock yang ketinggiannya 900 meter itu oleh Jepang diberi nama Bukit Tinggi. … *) Apa iya? Sebelum ada benteng Fort de Kock itu, nama asli daerah tersebut adalah Nagari Kurai. Artinya Bukit Nan Tinggi. Nggih sami mawon. –koJo.-
Ima Lawaru
Buka CHD, kadang bukan pengen baca, tapi hanya ingin mengecek siapa yang PERTAMAX. Hihi Setelah itu kembali ke dapur. Masak. Urus anak. Terus siap-siap masuk kantor. CHD yang tertinggal biasanya saya baca di saat jam kosong panjang. Karena komentar terpilih biasanya makan waktu. Apalagi komentar perusuh yang lucu-lucu. Kadang kalo saya tidak mengerti lucunya dimana, saya baca ulang lagi. Hihi
istianatul muflihah
Realita di lapangan memang begitu Pak Prie. Saya melihat alat kesehatan dan bahan medis habis pakai di rumah sakit di dominasi produk Tiongkok. Harga bisa di press rendah untuk bersaing dengan klaim BPJS yang tidak tinggi tinggi amat. Indonesia hanya tempat kemas. Jarum suntik dan alat infus produk China. Jombang, Semarang, dan Bekasi hanya tempat singgah, transit dan kemas ulang.
Prieyanto
MERDEKA dibungkus kardus Hasil penelitian Dr. dr. Andani itu sangat bagus. Ilmiah. Asli. Anak bangsa. Tapi tetap kalah oleh kardus. Ya, kardus. Produk luar negeri masuk, dibuka, lalu dibungkus ulang. Diberi nama lokal. Langsung berubah status: produk dalam negeri. Kebijakan kita? Senyum saja. Tanda tangan saja. Stempel saja. Dan cuan pun datang. Lalu kita bilang ke dunia: “Lihat, ini produk anak bangsa!” Padahal anak bangsa yang mana? Anak bangsa yang pinter bikin kardus? Kalau begini terus, bangsa kita memang pintar. Pintar jadi makelar. Pintar jadi penyedia stiker merah putih. Sementara peneliti asli, yang bikin karya dengan darah dan waktu, harus gigit jari. Lalu kapan Merdeka itu bisa terwujud? Kalau merdeka artinya punya bendera, kita sudah. Kalau merdeka artinya punya negara, kita juga sudah. Tapi kalau merdeka artinya berdaulat di ilmu dan teknologi, jangan buru-buru. Kita masih sibuk rebutan kardus. Mungkin suatu hari, ada pemimpin yang berani berkata: “Cukup. Hentikan kardus. Mulai dukung riset asli.” Kalau tidak? Ya sudah. Kita akan terus merdeka… di atas kardus. #prie
Suharno Maridi
Peraturan pemerintah mengenai keharusan adanya komponen dalam negeri (TKDN/AKD) untuk produk yg dipasarkan di Indonesia sangat dipaksakan. Itu dikarenakan posisinya terbalik. TKDN sdh diberlakukan selagi SDM dan infrastruktur belum lagi siap. Akhirnya yg terjadi, memang marak sekali produk yg ber-TKDN tp nyaris seluruhnya akal-akalan. Mayoritas merupakan produk luar yg disulap menjadi produk dalam negeri. Akhirnya produk dalam negeri tetap nelangsa, kalah bersaing, mahal. TKDN “palsu” yg terjadi saat ini tidak mencapai tujuan diberlakukannya yaitu memacu kemampuan dan kreatifitas SDM dalam negeri untuk berdikari, membuat produk yg selama ini di import. Semestinya kebijakan TKDN memang menjadi angin segar bagi SDM, ahli2, penemu dalam negeri, tetapi selagi mereka merangkak di pelabuhan sudah bejibun produk yg siap di TKDN kan. Sebelum TKDN diberlakukan seharusnya untuk semua produk luar yg beredar saat ini diharuskan membuat pabrik/tempat produksi di Indonesia. Selain itu juga mewajibkan setiap produk luar untuk mempersiapkan SDM dalam negeri sebagai langkah alih teknologi. Jika dalam kurun waktu tertentu produk tsb tidak mampu mempersiapkan infrastruktur dan SDM di sangsi dan tidak lulus sertifikasi TKDN. Saat itulah baru bisa diberlakukan peraturan TKDN. Disamping itu pemerintah juga harus memberikan subsidi yg besar dan bantuan infrastruktur serta kemudahan bagi produk original dalam negeri agar mampu bersaing dengan produk luar.
Riki Gana S
Subhanalloh, akhirnya bisa komen kembali. Setelah mencoba berkali-kali –tiap hari. ???????? Tinggalin jejak dulu: “selalu berpikir positif, jangan reaktif. Sesekali (boleh) nyinyir, ribuan kali (harus) berpikir. Tak perlu kejar senang, peliharalah ketenangan.” Tabik! Riki Gana S
heru santoso
Note 05: (catatan perjalanan yg tertinggal) Waktu check in hotel ku masih 3 jam lagi. Aku titipkan tas kecilku dan melangkah keluar. Berjalan kaki beberapa menit menemukan masjid tua. Tampak tenang di tengah hiruk pikuk Saigon. Masjid itu dibangun tahun 1935, bergaya sederhana. Belum masuk waktu salat, jadi aku hanya sebentar di pelatarannya. Restoran halal di seberang itu justru menarik perhatianku. Aku masuk dan pesan teh Turk. Di meja sebelah, sepasang pelanggan sedang asyik mengobrol. Seorang pria dewasa berwajah khas Turki, dan perempuan lokal Vietnam yang anggun. Kami saling melempar senyum sopan. Tak butuh waktu lama untuk obrolan mengalir—aku memulai dengan menyebut beberapa objek ikonik seperti Blue Mosque dan pemandangan sekitar Izmir. Ia begitu antusias. Obrolanpun beralih tentang kecintaan baru pada Saigon. Ia bukan hanya bercerita tentang ikon wisata kota ini, namun juga kebiasaan orang-orangnya, hingga kebanggaan rakyat Vietnam terhadap sejarah perjuangan mereka. Kali ini, aku memilih menjadi pendengar, hanya sesekali bertanya: “Bagaimana kamu bisa cepat tahu begitu banyak tentang Vietnam?” Jawabannya singkat dan membuatku terkekeh dalam hati: “Kamu butuh seorang explorer’s guide lokal untuk itu.” Sambil tersenyum, ia menoleh ke perempuan di sebelahnya,“Saya menikahinyi beberapa minggu lalu.” Aku hanya bisa mengangguk diam. Siapa sangka, tips paling halal tentang explorasi tempat baru kudapat dari nongkrong di restoran halal ini. (Semoga tidak dibaca Pak DI)
edi hartono
Lahir sebagai orang Jawa, saya menyadari teman2 dari Sumatera Barat selalu memiliki kelebihan Intlektual. Saya tidak tahu mengapa, mungkin hanya Tuhan yg tahu jawabannya. Apa karena faktor genetik, budaya, atau yg lain. PT. CTI adalah bentuk nyata idealnya sebuah perguruan tinggi: menghasilkan karya nyata yg berdampak bagi negara. Kenapa PTN besar yg terkenal itu, yg mahasiswanya puluhan ribu itu tidak terlihat karyanya. Bahkan, PTN yg mahasiswanya puluhan ribu itu masih memerlukan subsidi dari negara. Saya tidak tahu enapa, mungkin hanya Tuhan yg tahu jawabannya. “Anda sudah tahu” kalau karya Steve Jobs mulai dikenal setelah melakukan presentasi di satu forum rutin di salah satu universitas di sana. Kenapa universitas2 besar Indonesia itu tidak membentuk budaya presentasi seperti itu, yg mempertemukan project2 mahasiswa dengan kalangan luar (pengusaha atau pemodal). Pak DI punya circle orang kaya, pasti tahu banyak sekali uang yg sedang diparkir dan akan dengan senang hati dikeluarkan ketika ada ide cemerlang yg bisa direalisasikan. Kenapa di kampus2 terkenal itu tdk memfasilitasi hal itu. Puluhan bahkan ratusan ribu mahasiswa setiap tahun kuliah, 4tahun untuk mendapatkan ijazah yg kemudian bisa di gugat keasliannya. Puluhan universitas akreditasi A, ribuan karya tulis, minum produk yg berdampak besar. Menyedihkan, begitu besar sumberdaya Intlektual yg tidak didukung struktur yg mendukung. Indonesia belum Merdeka, dari pembodohan dan pemborosan sumberdaya Intlektualnya
djokoLodang
-o– DOKTER SEJATI … Andani masih punya waktu untuk praktik dokter. Motif utamanya untuk menolong masyarakat yang sakit. Ia tidak punya tarif. Terserah pasiennya. Itu membuatnya kerja lebih keras. Pasiennya membeludak. … *) Di Solo ada alm. dokter Oen. Nama lengkapnya Oen Boen Ing. Satu-satunya warga Solo keturunan Tionghoa yang diberi gelar KRT (Kanjeng Raden Tumenggung) OBI Darmohusodo, oleh KGPAA Mangkunagoro VIII pada tahun 1975. Gelar bangsawan setingkat Bupati. Beliau mengabdikan hidupnya untuk menolong sesama. Tidak pasang tarif. Bahkan sering merogoh saku pribadinya untuk membeli obat bagi pasien tidak mampu. Buka praktik di rumahnya mulai pukul 3 pagi. Setelah wafat pada 1982, namanya dilestarikan sebagai “RS Dokter Oen.” Menggantikan nama RS Panti Kosala. Tempat ia berpraktik dokter sampai akhir hayatnya. Sebelas tahun kemudian, KGPAA Mangkunagoro IX menaikkan gelar dr. Oen menjadi KRMTH (Kanjeng Raden Mas Tumenggung Hario) OBI Darmohusodo, pada 24 Januari 1993. Bukti bahwa setelah wafat pun, jasanya masih tetap dikenang, Dan, RS dr Oen masih tetap memberikan jasa pelayanan kesehatan atas dasar kemanusiaan. Sampai sekarang.. –koJo.-
Mbah Mars
Adakah perusuh yg sdh pernah berkunjung ke gua Selarong ? Gua Selarong identik dengan Pangeran Diponegoro. Gua ini merupakan salah satu tempat persembunyian dan markas perjuangan Pangeran Diponegoro selama Perang Diponegoro (1825-1830). Setelah kediamannya di Tegalrejo diserbu dan dibakar oleh pasukan Belanda pada Juli 1825, Diponegoro melarikan diri bersama istri dan para pengikutnya ke Gua Selarong yang terletak di Dusun Kembangputihan, Pajangan, Kabupaten Bantul, Yogyakarta. Di Gua Selarong, Pangeran Diponegoro dan pasukannya menyusun strategi perlawanan terhadap Belanda. Gua ini memiliki kondisi yang sangat strategis karena tersembunyi dan dikelilingi hutan lebat sehingga sulit terlihat dari luar, sehingga sering disebut memiliki pintu gaib atau pintu tak kasat mata. Tempat ini menjadi pusat koordinasi gerilya serta kediaman dan tempat semedi Pangeran Diponegoro selama masa perang. Ada pertanyaan utk para Perusuh: “Pangeran Diponegoro sedane tahun pira?”
Jokosp Sp
Produknya dari hasil impor, diakui sebagai barang produk dalam negeri. Pemerintah tidak mau peduli, tidak mau tahu apa resikonya, dan apa yang didapat negara?. Tidak pernah dibicarakan, dan tidak pernah dipertimbangkan. Dalam ilmu logistik dikenal nama yang umum disebut Re Packing. Supplier hanya melakukan impor dan melakukan pengemasan ulang. Kemasan bisa disiapkan pabrikannya di luar negeri, yang paling banyak saat ini adalah barang dari China. Atau kemasan bisa disiapkan oleh supplier dengan nama produk sesuai keinginannya. Supplier tidak perlu harus bangun pabrik yang padat modal. Cukuplah hanya sebuah gudang untuk menimbun stok dan melakukan pengemasan ulang (re packing). Tenaga kerja jelas perlunya hanya sangat sedikit dan mobil box untuk distribusi. Bahkan supplier tidak perlu mobil box ketika penjualannya sistem on line atau purchase order (PO). Peran negara ada di mana?. Pemasukan pajakpun tidak dapat karena importir memasukkan barang-barang itu dalam klasifikasi barang campuran dalam satu container yang bebas pajak (pajak murah). Inilah salah satu yang membunuh industri dalam negeri dengan cost yang jauh lebih murah. Pada akhirnya perusahaan dalam negeri banyak tutup dengan sendirinya karena kalah bersaing. Dan catatan pentingnya : TIDAK ADA PERLINDUNGAN DARI NEGARA TERHADAP INDUSTRI DALAM NEGERINYA. Yang dapat nikmat hanya pejabat yang mengurusi import ini saja. Negara?…….amsiong. Rakyat?………memang ada karena harga jadi jauh lebh murah. Pengangguran lagi.
Agus Suryonegoro III – 阿古斯·苏约诺
DR ACHMAD MOCHTAR DAN DR ANDANI: API RISET NAN TAK KUNJUNG PADAM.. Membaca kisah ini, terasa sekali bagaimana sejarah dan masa kini bisa berjumpa. Nama Dr Achmad Mochtar, yang pernah dikorbankan di masa Jepang, ternyata masih menyala lewat semangat seorang Dr Andani. Bedanya, Mochtar dikenang lewat RSUD di Bukittinggi, sedangkan Andani memilih jalan membumikan riset agar bermanfaat langsung bagi rakyat. Kehebatan Andani bukan sekadar di laboratorium. Ia mengubah penelitian menjadi produk nyata—mulai dari PCR buatan dalam negeri, deteksi HPV untuk kanker serviks, sampai inovasi penanganan TB dan pneumonia. Semua lahir hanya dalam lima tahun, angka yang menunjukkan energi luar biasa. Namun, tantangannya tidak ringan. Produk peneliti lokal sering harus bersaing tidak adil dengan barang impor “repackaging” yang diberi label TKDN. Ironi ini membuat semangat kemandirian bangsa terasa seperti lomba panjang dengan kaki terikat. Kalau Dr Mochtar pernah membayar dengan nyawa, maka Andani membayar dengan kerja tanpa lelah. Keduanya sama: menolak menyerah pada keadaan. Semoga Indonesia tidak hanya pandai mengingat nama pahlawan masa lalu, tapi juga memberi ruang lebar bagi pahlawan riset masa kini. Merdeka!
Em Ha
Ada darah Indarung di tubuh Dr. Andani. Semen Padang, pabrik semen pertama di Indonesia. 18 Maret 1910 sudah berdiri. “Kami telah berbuat sebelum yang lain memikirkan”. Motto Semen Padang yang legendaris itu dipegang erat sang doktor. Saya jadi saksi betapa mahalnya test PCR 1,6juta itu di 7 Oktober 2020. 10 hari sebelumnya saya positif Covid19. Kenapa sangat mahal?. Karena regen nya impor. Dan belum ketemu metode pemeriksaan kolrktif ala Dr. Andani. Belakangan tepat 2 tahun setelah terpapar Covid19. Saya bertemu langsung dengan urang awak itu. 7 oktober 2022 di Hollycow Pekanbaru. Ada pertemuan bisnis dengan pengusaha lokal Riau. Duduk semeja makan steak yang dimasak well done. Hanya jadi pendengar. Pendengar yang menyaksikan. Betapa regen dan metode beliau menghemat devisa negara. Seperti Semen Padang. Alun Takilek Alah Takalam.
Juve Zhang
Prof Jeffry Sachs :” Tiongkok itu 1992 gak ada dalam peta Amerika sebagai negara hebat…..2010 mulai nampak gejala akan jadi negara hebat…..2015 Amerika mulai cemas gak nyangka Tiongkok akan selaju itu….2025 Tiongkok sudah jadi kekuatan Dahsyat yg mengimbangi Amerika…bahkan akan melebihi Amerika….”..itu prof Jeffry yg juga memberikan kredit positif ke India….India kena tarif 50% oleh Amerika tapi laju India akan hebat walaupun kena 50% atau 100% tidak akan banyak gunanya….India akan melaju jadi kekuatan ekonomi hebat….kira kira itu perkiraan prof Jeffry Sachs….beliau hanya cerita bahwa Amerika sedang menurun …tahtanya mulai memudar….akan diganti oleh Tiongkok….dan selanjutnya India kekuatan berikutnya….Amerika akan turun ke peringkat 3…..dan itu kenyataan pahit….
Jokosp Sp
Daerah saya yang di sekitarnya banyak tambang batu bara. Daerahnya ya tetep saja tidak berkembang, apalagi mau nyontoh kayak kota-kota di Singapore, Korea Selatan, Jepang atau ke China……..ha ha haaaa gag lucu. Ini dagelan saja. Ke mana pajaknya?. Apa benar pajaknya ditarik sesuai jumlahnya masuk ke pemerintah?. Bagian ke pemerintah daerahnya yang ada tambangnya berapa %?. Kan sudah jelas Pak Presiden bilang : 1.063 tambang adalah ilegal. Dan saya tahu dibekingi oleh jendral dan mantan jendral. Loh berarti jelas sebagian besarnya tambang ilegal dan tidak masuk pajaknya ke negara. Masuknya ke mana?. Ya ke kantong pemilik tambangnya dan pejabat pndukungnya. plus ke bekingnya. Boncos lagi……amsiong lagi.
Er Gham 2
Harus cek. Berapa pajak PBB untuk tahun depan. Apakah akan ada kenaikan yang luar biasa. Dana untuk daerah dari pusat turun. Jika daerahnya kaya akan PAD, mungkin ini tidak masalah. Namun banyak daerah yang masih sangat bergantung dengan dana dari pusat. Apakah warga boleh demi jika ada kenaikan yang diluar nalar. Warga Pati sudah merintis tuch. Pemda jangan seenak udel naikkan pajak PBB 2026 nanti.
Er Gham 2
Berfoto di benteng Fort de Kock tahun 1983. Namun mirip taman saja. Tidak jelas bentuk benteng nya. Saat ke Ternate sekitar tahun 2006, baru menyadari bahwa itulah benteng Belanda yang berbentuk seperti benteng pada umumnya.
Juve Zhang
Ketika produksi mobil Tiongkok masih belum bagus ….masih ecek ecek… Pemerintah Tiongkok malah sengaja memberi karpet merah ke Tesla….yg waktu itu Raja Mobil listrik terhebat dunia….bukankah ini sama dengan membunuh Industri dalam negeri Tiongkok yg masih ecek ecek????…. inilah kehebatan Tiongkok mendatangkan Raja mobil listrik Elon Musk untuk menghajar mobil Tiongkok agar belajar dari Jagoannya….Elon Musk pun datang ke Tiongkok dengan hati berbunga bunga….ini mobil Tesla terbaik di dunia…akan ku hajar mobil Tiongkok yg ecek ecek itu….dan dia ketawa Ngakak melihat mobil BYD yg jelek rupanya….ketawa dia saking kerasnya kedengar dan dilihat Wang Chuan Fu….Wang bukan menyalahkan pemerintah Tiongkok yg mbuka karpet merah ke Tesla…..tetapi Wang datang ke showroom Mercy beli yg paling Mahal dibawanya ke pusat riset BYD dan minta di preteli mercy baru itu…..mengapa Mercy itu istimewa….itulah awal kebangkitan BYD…. sekarang Tesla nangis di pojokan lihat penjualan nya menurun sedangkan BYD naik ke Tahta Podium….no.1 Dunia…..itulah cara Om Jin Ping “menghajar” pabrik mobil listrik Tiongkok supaya bangkit dan mengejar Tesla di tikungan dan merajai pasar dunia….Om Jin Ping tahu untuk sukses Manusia Tiongkok harus di hajar dulu sampai di ejek ejek oleh Elon Musk….om Jin Ping tidak membantu Wang Chuan Fu….itu urusan swasta….urus dirimu sendiri…. legendaris sekali cara Om Jin Ping menghajar industri mobil listrik nya agar menjadi kekuatan Dunia.
Agus Suryonegoro III – 阿古斯·苏约诺
JEJAK AUDIT DI BUKITTINGGI.. Saya adalah seorang auditor. Pada periode 1983–1989, jabatan saya membuat saya rutin mendapat tugas audit ke wilayah Sumatera Barat dan Riau. Itu berarti, setiap tahun saya pasti berangkat ke Padang. Dan setiap kali ke Padang, saya selalu menyempatkan diri naik ke Bukittinggi. Bukittinggi bukan sekadar kota sejuk di dataran tinggi. Bagi saya, ia adalah tempat yang sarat makna. Hampir tiap tahun, saya selalu menyambangi Benteng Fort de Kock—peninggalan Belanda yang dulu jadi simbol kekuasaan kolonial, namun kini tinggal sisa sejarah yang membisu. Dari sana, langkah saya hampir selalu berlanjut menyusuri Lembah Sianok, yang letaknya tidak jauh dari benteng. Pemandangan di lembah itu sungguh luar biasa. Tebing curam yang menjulang, hijaunya pepohonan, serta kabut pagi yang turun perlahan, membuat suasana terasa seperti lukisan hidup. Di sela keindahan alamnya, sambil makann dengan ayam sambal lombok hejo, saya selalu membayangkan bagaimana beratnya perjuangan para pahlawan melawan penjajah di kawasan itu. Alam Bukittinggi seolah menghadirkan dua wajah: Satu yang indah dan menenangkan. Satu lagi yang menyimpan kisah getir perjuangan bangsa. Dan saya beruntung, bisa merasakan keduanya setiap tahun dalam perjalanan kerja.
Dahlan Batubara
Kisah Ahcmad Moectar (di “Telat Merdeka” CHDI edisi Minggu kemarin) yg pernah tinggal di Panyabungan, mengingatkan saya pada sosok Ida Loemongga Nasution. Perempuan pertama pribumi yg meraih gelar doktor (Ph.D) di bidang kedokteran thn 1927. Pada usia 18 tahun Ida berangkat sendirian ke Amesterdam. Kuliah di Universiteiten Van Utrecht en Leidentesis. Tesisnyi “Diagnosis dan Prognosis Cacat Jantung Bawaan”. Kemudian hari membuka praktik di Batavia. Ida lahir 22 Maret 1905 di Padang (Sumbar). Masa kecilnyi lebih banyak di Padang Sidempuan (Sumut). Ayahnyi Haroen Al Rasjid Nasution. Ibunyi Alimatoe Saadiah Harahap (semarga dgn Taunku Tambusai). Haroen Al Rasjid orang Desa Gunungtua, Panyabungan (sekampung dengan saya). Tugasnya pindah2 dari Padang (Sumbar) hingga Padang Sidimpuan (Sumut). Panyabungan-Padang Sidimpuan berjarak 70 Km. Nasution adalah marga dominan di Panyabungan, marga termuda di Mandailing. Disusul marga Lubis (marga Moechtar Lubis – sastrawan sekaligus jurnalis kepala batu. Orang Mandailing kelahiran Padang). Etnis Mandailing bertetangga dgn etnis Minang, sekaligus perbatasan Sumut-Sumbar. Makanya kosa kata dua etnis ini banyak mirip. Misal: silat, silek di Minang; cilek di Mandailing.
Runner
Dua orang. Dua nama yang top positip diCHDI. 1. Pak Robert Lai, top karena “kesetiakawanannya”; 2. Pak Dr.dr. Andani, top karena kerja keras cerdas dan ikhlas. Pak dr. Andani “TKDN”nya 100%. Semoga keduanya sehat selalu
Runner
pernah makan di RM “SR Nukit Tinggi, pilih meja sisi jendela menghadap Jam Gadang…. amboooi… seru dan nikmatnya. Mudah mudahan RM “SR” masih ada disitu, krn kesana 20 th yang lalu.
Agus Suryonegoro III – 阿古斯·苏约诺
PENELITIAN BISA MENJADI PENGHASILAN.. Dr Andani memberi teladan bahwa penelitian tidak boleh berhenti sebagai laporan ilmiah yang menumpuk di rak perpustakaan. Ia rajin meneliti, tekun mencari solusi praktis, hingga akhirnya melahirkan 35 penemuan nyata sejak era Covid. Bedanya dengan banyak peneliti lain, Andani tidak hanya puas menghasilkan temuan, tetapi juga memastikan hasil itu bisa digunakan masyarakat. Caranya sederhana tapi strategis: mendirikan perusahaan sendiri untuk “menjual” hasil riset. Dengan begitu, penemuan tidak sekadar berhenti sebagai karya akademis, melainkan berubah menjadi produk yang bermanfaat dan berkelanjutan dan menjadi penghasilan. Inilah yang jarang dilakukan di Indonesia: jembatan antara kampus dan pasar. Model yang ditempuh Andani bisa menjadi contoh. Penelitian harus menyentuh kebutuhan riil masyarakat. Dan agar tidak kandas di meja birokrasi, hasilnya perlu dikelola secara bisnis. Dengan begitu, riset bukan hanya menghasilkan kebanggaan akademis, tetapi juga memberikan manfaat luas, membuka lapangan kerja, sekaligus mengurangi ketergantungan kita pada produk impor. Apa yang dilakukan Andani adalah pelajaran penting: riset tanpa implementasi hanya jadi wacana. Namun riset yang dipasarkan lewat bisnis akan memberi daya hidup baru, bagi peneliti, diri sendiri maupun bagi bangsa.