INDOPOSCO.ID – Asosiasi JANGKAR (Jaringan Kapal Rekreasi Indonesia) menandatangani Memorandum of Understanding (MoU) dengan Direktorat Jenderal Pengelolaan Kelautan, Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP), di Balroom KKP, Kamis (4/12/2025). Langkah tersebut untuk memperkuat tata kelola kawasan konservasi laut serta memberikan kepastian berusaha bagi industri kapal wisata atau Live On Board (LOB).
“Kalau hari ini kan baru formalitasnya, realisasi dari penandatanganan kerjasama ini akan lebih terasa ketika dilapangan,” ujar Ketua Umum Jangkar, Fatiyah Suryani Mile usai menandatangani kesepahaman di KKP, Kamis (4/12/2025).
JANGKAR menaungi lebih dari 100 kapal wisata yang beroperasi di berbagai destinasi unggulan seperti Raja Ampat, Labuan Bajo, Banda, Alor, Wakatobi, Maumere, Maratua, Kakaban, Derawan, Bunaken, Likupang, dan Sangihe. Industri LOB menjadi sektor vital pariwisata bahari, membawa wisatawan mancanegara dan domestik untuk menikmati keragaman hayati dan keindahan laut Indonesia.
Namun pertumbuhan industri ini turut diikuti meningkatnya beban operasional, mulai dari pajak, PNBP, retribusi daerah, hingga pungutan oleh kelompok masyarakat. Kondisi tersebut telah menimbulkan ketidakpastian regulasi dan kekhawatiran investor, terutama bagi operator PMA. Melalui MoU ini, JANGKAR berharap adanya penyederhanaan perizinan, penghapusan pungutan tidak resmi, serta kepastian hukum bagi pelaku usaha.
Penasehat JANGKAR, Aji Surlaso, menegaskan bahwa kerja sama ini merupakan momentum memperbaiki banyak persoalan di lapangan.
“Kerja sama ini pada dasarnya meringankan beban para pelaku usaha. Kita ingin memastikan regulasi tidak lagi membuat mereka harus berputar jauh. Kalau ada kegiatan di lapangan, silakan turun langsung ke kapal-kapal yang sedang beroperasi untuk melihat proses dan menyusun laporan secara lebih mudah,” ujar Aji Sularso.
Ia juga menyoroti peran kapal wisata dalam konservasi laut. Menurutnya, industri ini dapat menjadi mitra strategis pemerintah dalam program kampanye bersih laut.
“Kapal-kapal wisata sangat bisa dilibatkan untuk pengumpulan sampah laut. Bayangkan jika setiap kapal yang berlabuh di Sorong membawa kantong plastik berisi sampah yang bisa didaur ulang—nilai ekonominya besar dan manfaatnya langsung dirasakan masyarakat,” tambahnya.
Terkait isu pungutan di kawasan konservasi, Aji menjelaskan bahwa terdapat dua kategori biaya resmi: pungutan pusat dan pungutan daerah. Keduanya memiliki dasar hukum jelas dan telah dipatuhi operator. Namun, muncul pungutan tambahan oleh kelompok masyarakat yang tidak memiliki kewenangan.
“Operator sudah mengikuti aturan resmi. Tetapi di banyak lokasi, masih muncul pungutan dari kelompok masyarakat adat yang sebenarnya tidak memiliki dasar hukum. Ini menimbulkan beban biaya berlapis dan membingungkan operator,” ujarnya.
Aji menegaskan bahwa JANGKAR tidak sedang menggeneralisasi atau menstigmatisasi masyarakat lokal, tetapi menyoroti perlunya penertiban dan kepastian hukum.
“Saya tidak ingin langsung menyebutnya pungli. Tetapi kalau sebuah pungutan tidak punya dasar hukum, secara prinsip itu tetap tidak legal—meskipun dilakukan secara terorganisir. Di negara hukum, semua pungutan harus punya payung aturan,” tegasnya.
Selain itu, tantangan perubahan iklim juga menjadi perhatian serius bagi JANGKAR dan KKP. Pemanasan global yang memicu coral bleaching telah mengancam berbagai destinasi selam.
“Ini bukan lagi isu jauh. Coral bleaching langsung berdampak pada pariwisata selam. Kita perlu mitigasi bersama karena industri ini sangat bergantung pada kesehatan ekosistem,” kata Aji.
Ia juga menyoroti pentingnya pemberdayaan masyarakat. Banyak masyarakat lokal belum menikmati manfaat langsung dari aktivitas kapal wisata yang melintas.
“Jika daerah ingin masyarakat mendapatkan manfaat, ciptakan destinasi darat atau atraksi yang bisa masuk dalam paket wisata kapal. Komodo dan Padar sudah membuktikan model ini berhasil,” ujarnya.
Melalui MoU ini, JANGKAR berharap tercipta ruang dialog yang lebih terbuka antara asosiasi, pemerintah pusat, pemerintah daerah, dan masyarakat lokal.
“Prinsip kami sederhana: jika tata kelola dibenahi, konservasi kuat, dan masyarakat diberdayakan, maka industri kapal wisata akan memberi manfaat jauh lebih besar bagi semua pihak,” tutup Aji Surlaso. (ney)









