INDOPOSCO.ID – Kementerian Keuangan (Kemenkeu) melalui Direktorat Jenderal Kekayaan Negara (DJKN) meluncurkan sebuah program penting, asuransi Barang Milik Negara (BMN) dengan sistem pendanaan berbasis Dana Bersama Penanggulangan Bencana (Pooling Fund Bencana/PFB).
Hal ini dilakukan pemerintah sebagai langkah strategis untuk mengantisipasi meningkatnya ancaman bencana alam yang dapat melumpuhkan pelayanan publik, serta menjadi salah satu agenda kebijakan fiskal paling ambisius tahun ini.
Untuk tahap awal, mekanisme asuransi dengan skema PFB ini diterapkan secara piloting pada tiga kementerian/Lembaga (K/L). Ketiganya mewakili kategori aset strategis yang berbeda, yakni Kementerian Agama (Kemenag) untuk bangunan pendidikan, Kementerian Kesehatan (Kemenkes) untuk bangunan kesehatan, dan Kementerian Sekretariat Negara (Kemensetneg) untuk bangunan perkantoran, khususnya yang berada di kawasan Istana Negara.
Pendekatan ini memungkinkan pemerintah melakukan uji kelayakan tata kelola, koordinasi antarlembaga, serta kesiapan sumber pendanaan sebelum diterapkan secara luas dalam beberapa tahun ke depan.
Wakil Menteri Keuangan (Wamenkeu) Suahasil Nazara, menegaskan bahwa kebijakan ini merupakan bentuk keseriusan pemerintah dalam melindungi aset negara dari risiko bencana yang tak terduga. Ia menekankan pentingnya komitmen setiap kementerian/lembaga dalam menjaga asetnya.
“Namun demikian, kami berharap pengamanan BMN melalui alokasi anggaran asuransi dalam DIPA (Daftar Isian Pelaksanaan Anggaran) masing-masing kementerian/lembaga dapat terus dilaksanakan secara efektif, agar perlindungan terhadap aset negara semakin optimal,” ujar Suahasil dalam acara peluncuran asuransi di Jakarta, Selasa (2/12/2025).
“Selanjutnya, kami mengucapkan terima kasih kepada seluruh pihak yang turut serta dalam mewujudkan implementasi asuransi BMN dengan skema PFB ini,” sambungnya.
Program ini, menurut Suahasil, tidak lahir dalam ruang hampa, melainkan hasil dari sinergi panjang antara Kementerian Keuangan dengan berbagai pemangku kepentingan, seperti Otoritas Jasa Keuangan (OJK), industri asuransi, Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), serta dukungan asistensi teknis dari Bank Dunia.
“Kolaborasi tersebut menjadi pondasi penting dalam memastikan skema pendanaan risiko bencana berjalan konsisten dan kredibel,* ucapnya.
Akar kebijakan ini dapat ditelusuri pada Peraturan Presiden Nomor 75 Tahun 2021 tentang Dana Bersama Penanggulangan Bencana.
Aturan tersebut kemudian dijabarkan lebih detail melalui dua regulasi turunan, yaitu Peraturan Menteri Keuangan Nomor 28 Tahun 2025 tentang pengelolaan Dana Bersama Penanggulangan Bencana dan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 43 Tahun 2025 mengenai pengasuransian BMN.
Kedua peraturan itu mempertegas arah kebijakan pengelolaan risiko bencana yang kini menjadi bagian penting dari manajemen fiskal modern.
Sejak pertama kali diperkenalkan pada 2019, program asuransi BMN bergantung penuh pada sumber pendanaan dari Daftar Isian Pelaksanaan Anggaran (DIPA) masing-masing K/L. Namun, keterbatasan anggaran membuat cakupan perlindungan sering tidak maksimal.
Inilah yang kemudian memicu perumusan kebijakan baru berbasis PFB—sebuah skema yang menghimpun dana dari berbagai sumber, mulai dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN), Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD), hibah, investasi, hingga penerimaan klaim asuransi. Dana tersebut dikelola oleh Badan Layanan Umum (BLU) Badan Pengelola Dana Lingkungan Hidup (BPDLH).
“Melalui pemanfaatan hasil pengembangan PFB, implementasi asuransi BMN dapat diakselerasi, sebagai pelengkap atas asuransi BMN yang didanai dengan DIPA K/L. Kebijakan ini diharapkan mampu memperluas cakupan perlindungan BMN sekaligus meningkatkan efisiensi pengelolaan risiko bencana oleh pemerintah,” tambahnya.
Dengan hadirnya kebijakan ini, pemerintah menegaskan kembali bahwa perlindungan aset negara tidak boleh menunggu bencana datang. Ia harus dipersiapkan, dikelola, dan dibiayai dengan cara yang lebih modern.
“Peluncuran skema PFB menjadi langkah awal sebuah perjalanan panjang menuju sistem manajemen risiko bencana yang lebih tangguh bagi Indonesia,” pungkasnya. (her)









