INDOPOSCO.ID – Wakil Menteri Agama (Wamenag) H. Romo Muhammas Syafi’i menegaskan, bahwa berdirinya Direktorat Jenderal (Ditjen) Pesantren merupakan momentum strategis yang harus dimanfaatkan untuk memperluas peran pesantren di tengah dinamika global saat ini.
Menurutnya, pesantren memiliki modal tradisi intelektual yang kuat. Sehingga santri mampu tampil di berbagai sektor kehidupan modern. “Pesantren adalah peradaban. Dengan Ditjen Pesantren, kita ingin melahirkan generasi yang menguasai agama sekaligus memimpin teknologi,” ujar Romo dalam keterangan, Rabu (26/11/2025).
“Tradisi keilmuan pesantren harus berjalan seiring dengan inovasi,” sambung Romo.
Ia menekankan, bahwa santri dan alumni pesantren harus menjadi bagian dari pembentukan opini publik, riset, dan pengambilan keputusan di berbagai bidang.
“Negara memiliki kewajiban membuka ruang yang lebih besar, agar alumni pesantren bisa mengisi sektor-sektor strategis yang relevan dengan kapasitas keilmuannya,” kata Romo.
Hal yang sama diungkapkan Rais Syuriah Pengurus Wilayah Nahdlatul Ulama (PWNU) Jawa Tengah, KH. Ubaidillah Shodaqah. Dia memberikan, pandangan mendalam mengenai efek teknologi terhadap pembelajaran pesantren.
Ia menegaskan, bahwa kemudahan akses informasi harus disertai kedalaman adab dan kontrol moral. “Sesuatu yang dicapai dengan mudah akan hilang dengan mudah. Teknologi membantu, tetapi jangan sampai membuat tumpul dan menghilangkan semangat dalam mengkaji,” ujar Mbah Ubed.
Ia menjelaskan, santri zaman dulu membutuhkan ketekunan tinggi untuk mencari satu referensi di kitab. Namun kini, aplikasi digital memungkinkan pencarian hanya dengan mengetik kata kunci.
“Kemudahan ini harus dimaknai sebagai alat bantu, bukan pengganti mujahadah,” katanya.
Mbah Ubed menegaskan, bahwa ruang digital harus diisi oleh suara pesantren. Santri, menurutnya, wajib mengambil bagian dalam produksi konten keislaman yang sehat, moderat, dan berakar pada tradisi keilmuan pesantren.
“Santri dan pesantren harus mengisi ruang digital dengan konten kepesantrenan. Jangan biarkan ruang itu kosong dan diisi pihak yang tidak memahami pesantren,” tegasnya.
Ia juga menyinggung tantangan baru berupa penggunaan Artificial Intelligence (AI) dalam belajar. Informasi yang terbuka harus tetap dibatasi oleh etika, maqashid syariah, dan bimbingan moral.
Menurut Mbah Ubed, tantangan terbesar saat ini bukan lagi akses pengetahuan. Tetapi bagaimana menjaga moral, adab, dan tujuan belajar agar tidak melenceng dari nilai-nilai pesantren.
“Tugas kita hari ini adalah mengontrol moral. Ilmu bisa didapat di mana saja, tetapi adab dan bimbingan kyai tidak bisa digantikan,” ujarnya. (nas)









