INDOPOSCO.ID – Pertanyaan mengenai indikator keamanan dalam sistem transaksi digital kembali mencuat seiring meningkatnya kasus penipuan online. Namun menurut Akademisi University of Jakarta International (UNIJI) Liana Rahardja, tidak ada satu pun indikator yang benar-benar mampu menjamin keamanan sepenuhnya.
“Kita sering bertanya, indikator apa? Enggak ada yang bisa menjamin,” ujar Liana kepada INDOPOSCO, Senin (24/11/2025) seraya menegaskan bahwa celah kejahatan siber selalu berkembang lebih cepat dari sistem pertahanan.
Ia menjelaskan berbagai modus penipuan digital kini semakin canggih, terlebih melalui aplikasi percakapan seperti WhatsApp (WA) dan Short Message Service (SMS) yang sering digunakan pelaku untuk melakukan phising.
“Phising di WA, SMS, Anda mendapat hadiah, harap hubungi. Link-nya sekarang sudah mimicking (peniruan, layaknya website asli),” katanya.
Menurut Liana, teknik mimicking atau mirroring (pelaku membuat cermin/mirror dari situs asli sehingga tampilannya identik, tetapi dijalankan di server penipu) membuat situs palsu terlihat sangat mirip dengan situs asli, termasuk milik bank besar.
“Benar-benar website-nya (misal) BCA palsu sama BCA asli itu mirip banget. Kita bisa sampai salah pencet, salah masuk, dan tanpa sadar sudah memberikan data-data pribadi,” ujarnya.
Karena itu, ia menilai tidak ada sistem yang sepenuhnya kebal dari serangan.
“Enggak ada (sistem yang sepenuhnya aman), makanya perbankan sekarang sebaiknya meng-hire hacker-hacker. Sistem itu perlu dicoba dibobol supaya kita tahu kelemahannya,” jelas Kepala Program Studi Akuntansi UNIJI itu.
Menurutnya, bagi institusi keuangan, solusi paling realistis adalah menggandeng para ahli siber untuk menguji ketahanan sistem. Namun bagi pemerintah, terutama Otoritas Jasa Keuangan (OJK), langkah strategis yang dapat dilakukan adalah meningkatkan pemahaman masyarakat.
“Tidak ada cara lain kecuali mensosialisasikan literasi digital dan keuangan kepada masyarakat umum,” tuturnya.
Liana menambahkan, kelompok masyarakat tertentu, terutama yang kurang akrab dengan teknologi, seperti warga lanjut usia (lansia) lebih rentan menjadi korban.
“Kalau orang yang mungkin sekolah, penerimaannya lebih cepat. Tapi mereka yang jauh dari teknologi itu lebih cepat ketipu, terutama orang yang sudah tua atau sulit belajar hal baru,” tambahnya.
Di tengah maraknya kejahatan digital, pesan Liana menjadi pengingat bahwa pertahanan terbaik tidak hanya ada pada teknologi, tetapi juga pada kesadaran dan kewaspadaan masyarakat. Keamanan transaksi digital bukan hanya soal sistem, tetapi juga soal literasi. (her)









