INDOPOSCO.ID – Penyelenggaraan pemilu di 2024 telah membuktikan adanya kterlibatan Artificial Inteligence (AI) menjadi isu krusial yang dapat memicu konflik hirizontal di masyarakat, khusuanya terkait SARA. ataupun antarpendukung kandidat atupun partai politik.
Hal itu terungkap dalam diskusi publik dengan mengangkat tema “Antisipasi Perkembangan AI dan Model Pengawasan Digital di Pemilu 2029” di Media Center Gedung Bawaslu RI, Jakarta, Jumat (14/11/2025).
Anggota Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) RI, Lolly Suhenty, mengatakan bahwa pihaknya kini tengah membuat strategi pengawasan digital yang memanfaatkan AI.
“Kami juga mulai mengembangkan model pengawasan berbasis kecerdasan buatan,” ujar Lolly dalam pemaparannya.
Dia menuturkan, pengalaman Pemilu dan Pilkada Serentak 2024 memberikan pembelajaran terkait kerawanan dugaan pelanggaran pada tahapan kampanye, bahkan menggunakan AI untuk memproduksi konten-konten yang disebarkan ke publik.
“Ke depan, ancaman deepfake harus dipandang sebagai tantangan serius. AI memang memberi peluang percepatan mitigasi, tetapi disaat yang sama membawa banyak jebakan,” ucapnya.
Selanjutnya, Anggota Komisi Pemilihan Umum (KPU) RI August Mellaz, mengungkapkan di berbagai negara kini berhadapan dengan disinformasi dan manipulasi digital yang kian canggih, sementara Indonesia mulai merasakan gejalanya.
Dari sudut pandang penyelenggara pemilu, Mellaz menilai sebagian persoalan masih bisa ditangani karena skalanya belum besar atau masih bersifat konvensional.
Namun dia menegaskan kewaspadaan harus ditingkatkan, terutama setelah mendengar pemaparan Mafindo mengenai aktor-aktor eksternal yang memiliki kemampuan teknologi tinggi untuk mengganggu proses demokrasi.
“KPU dan Bawaslu pasti akan terkena dampak langsung. Bahkan pemerintah pusat pun mengakui persoalan ini nyata dan bisa memengaruhi jalannya demokrasi,” katanya.
Selanjuynya, Anggota Komisi II DPR RI, Ahmad Irawan, mengungkapkan salah satu substansi yang akan dibahas dalam pembahasan RUU Pemilu oleh DPR adalah penggunaan teknologi informasi.
Penggunaan teknologi informasi ini, kata dia, sudah digunakan dari pemilu ke pemilu dan akan digunakan dalam pemilu ke depan.
“RUU Pemilu itu dalam rangka memguatkan dasar hukum terkait dengan berbagai penggunaan teknologi tersebut. Termasuk juga nanti akan kami masukkan juga, misalnya, kaitannya dengan keputusan MK mengenai larangan penggunaan edit berlebihan atau penggunaan artificial intelligence (AI),” pungkasnya.
Adapun pembicara lainnya, Direktur Mafindo Eko Septiaji Eko Nugroho, menyampaikan kekhawatirannya terhadap perkembangan AI dalam penyelenggaraan pemilu ke depan.
Ia pun mengungkapkan, bahwa dalam pelaksanaan pemilu-pemilu sebelumnya masalah polarisasi dan isu SARA kerap menjadi tantangan serius, akan tetapi pada pemilu 2029 AI akan menjadi tantangan baru.
“Kita sudah aman dari isu sara, yang saya khawatirkan adalah ketika nanti AI, SARA jadi satu,” kata Septiaji dalam paparannya.
“Itu adalah satu skenario yang paling buruk ya, tapi kita harus siap, kita harus punya sistem yang siap menghadapi itu,” tambahnya.
Sementara itu, moderator diskusi yang juga Ketua Bidang Organisasi dan Kaderisasi Koalisi Pewarta Pemilu dan Demokrasi (KPP DEM) berharap output diskusi publik ini dapat menjadi masukan penting untuk bisa dibawa dan dibahas dalam RUU Pemilu.
“Semoga diskusi hari ini dapat membawa suatu hal yang baik dalam menjawab tantangan AI pada Pemilu ke depan dan menjadi acuan dalam pembahasan regulasi terkait AI dalam RUU Pemilu yang akan dibahas oleh DPR,” kata Dhanis menutup diskusi tersebut. (dil)








