INDOPOSCO.ID – Gelombang keluhan mulai terdengar dari pasar-pasar tradisional di berbagai daerah. Dari telur ayam hingga sayuran, dari daging sapi hingga ayam potong, semuanya kompak naik harga dalam waktu yang hampir bersamaan.
Menyikapi hal tersebut, Ketua Forum Konsumen Berdaya Indonesia (FKBI), Tulus Abadi, mengungkapkan bahwa masyarakat kini mulai resah menghadapi kenaikan bahan pangan yang cukup signifikan.
“Harga telur di Jakarta saja sudah tembus Rp38.000 per kilogram (kg), padahal biasanya di kisaran Rp29.000 hingga Rp32.000. Dan dampaknya, inflasi daerah kini rata-rata sudah mencapai 6,6 persen, jauh di atas inflasi nasional,” ujar Tulus melalui gawai, Kamis (6/11/2025).
Namun, setelah ditelusuri, lonjakan ini rupanya bukan tanpa sebab. Program Makan Bergizi Gratis (MBG) yang digagas pemerintah, dinilai menjadi salah satu pemicu tingginya permintaan bahan pangan di berbagai wilayah.
Sayangnya, peningkatan permintaan itu tak diimbangi dengan ketersediaan pasokan di pasar.
“Terjadi kesenjangan antara permintaan dan pasokan. Ketika supply (penawaran) tidak naik, tapi demand (permintaan) melonjak, harga otomatis terdorong naik,” jelas Tulus.
Menurutnya, kondisi ini bisa berbahaya jika tidak segera ditangani secara cepat dan sinergis oleh pemerintah. Ia mendorong adanya langkah konkret untuk memperkuat pasokan pangan, terutama di daerah-daerah yang program MBG-nya sudah berjalan masif.
“Pemerintah harus bergerak cepat, melibatkan semua pihak. Permudah perizinan, buka akses distribusi, pangkas rantai pasok, itu bisa jadi triger untuk menambah suplai pangan ke pasar,” tegas pegiat perlindungan konsumen itu
Tulus juga mengingatkan, jika kondisi ini dibiarkan hingga sebulan ke depan, situasinya bisa makin parah. Sebab, pertengahan Desember akan memasuki momentum Natal dan Tahun Baru (Nataru), yang secara rutin meningkatkan permintaan bahan pangan setiap tahun.
“Kalau tidak ada strategi khusus menghadapi Nataru, harga bisa melonjak lebih tinggi lagi. Daya beli masyarakat makin tergerus. Ini tidak adil jika dibiarkan begitu saja,” katanya.
Tak lupa, Tulus pun menutup peringatannya dengan nada ironi yang menggugah.
“Jangan sampai paradoks ini terjadi. Apalah artinya seporsi makan bergizi gratis bagi anak-anak, kalau pada saat yang sama orang tuanya harus menanggung harga sembako yang melonjak lebih tinggi dari nilai seporsi MBG itu sendiri.” tambahnya.
Kini bola panas ada di tangan pemerintah. Program MBG mungkin niatnya mulia, tapi tanpa langkah sigap menjaga keseimbangan pasar, sepiring kebaikan bisa berubah menjadi beban yang justru menggerus dapur rakyat. (her)









